Untuk menghilangkan malapetaka itu Prabu Hajipamoso menitahkan untuk menyelenggarakan upacara kurban yang khusus dipersembahkan kepada Bathari Durga.
Dalam upacara tersebut yang dijadikan korban adalah kerbau liar dalam bahasa Jawa disebut maesa (kerbau) lawung (liar). Darah dan bagian tubuh tertentu dari hewan kurban dibawa ke hutan Krendhawahana untuk persembahan kepada Bathari Durga.
Setelah melaksanakan upacara tersebut wabah penyakit yang melanda kerajaan menghilang dan upacara kurban itu pun terus dilaksanakan dari zaman ke zaman, dari para raja Jawa hingga akhir masa kerajaan  Majapahit.
Tak lama setelah Raden Patah dinobatkan menjadi sultan pertama Kesultanan Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar atau Sultan Ngabdil Suryangalam, beliau menghapus upacara adat tersebut karena hal yang demikinan dinilai bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam.
Karena upacara ini sudah turun temurun dilaksanakan, hal ini membuat masyarakat tidak terima dan pada saat itu juga masyarakat dilanda penyakit menular.
Pada akhirnya atas saran para ulama kerajaan (wali songo) upacara kurban itu dihidupkan kembali dan diberi warna keislaman, hewan kurban juga disembelih menurut syariat Islam yang dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Wabah penyakit pun menghilang setelah upacara tersebut dilaksanakan dan kerajaan kembali tentram. Di sinilah mulainya syiar agama Islam secara bertahap antara agama Islam dipadukan dengan memadukan adat istiadat setempat.
Mengetahui bahwa masyarakat suka dengan perayaan dan keramaian, muncul ide dari Sunan Kalijaga agar kerajaan menyelenggarakan perayaan setiap menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada bulan Rabiulawal.
Tujuannya agar menarik perhatian rakyat, secara tidak langsung mengajak mereka agar masuk ke Majid Besar. Di halaman masjid dimainkan sebuah gamelan sehingga para wali dapat berdakwah secara langsung dihadapan rakyat.
Meskipun hukum membunyikan gamelan di halaman masjid itu adalah makruh, namun demi kelancaran syiar Islam ide dari Sunan Kalijaga diterima oleh Majelis Wali Songo.
Karena itulah Sunan Giri yang sudah mengetahui teknik pembuatan gamelan, langsung membuatnya dan diberi nama 'Kyai Sekati'.