Mohon tunggu...
Agung Wi
Agung Wi Mohon Tunggu... -

Penikmat teh hangat dan jajanan pasar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Skandinavia

9 Juli 2015   08:29 Diperbarui: 9 Juli 2015   08:29 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak munculnya pro kontra pembacaan al Qur’an dengan langgam Jawa, Menteri Agama RI tidak lantas berhenti mempromosikan Islam dengan cita rasa Nusantara yang dipermasalahakan beberapa pihak, serta mencukupkan diri dengan Islam yang disandarkan kepada al Qur’an dan al Hadits saja. Kemarin beliau malah menegaskan kembali kebaikan dan keunggulan Islam Nusantara, dan berharap agar model ini bisa diadopsi oleh Negara lain. Menurut beliau Islam Nusantara adalah ajaran Islam yang berinteraksi dengan nilai-nilai lokal

sehingga menghasilkan Islam yang moderat, penuh toleransi, menghargai keberagaman, menjunjung hak-hak perempuan dan HAM, dst. Cara orang Indonesia
mengambil Islam inilah yang menurut beliau baik dan perlu ditiru. 

Sebagai orang yang lahir, besar dan merasakan denyut Islam di Indonesia

saya jadi bertanya dalam hati, apa iya Islam model Indonesia ini adalah yang terbaik dan layak ditiru masyarakat muslimin sedunia; apa indikator yang dipakai untuk mengatakan Islam Nusantara itu baik.

Jika kita membaca berita atau menonton tayangan TV saban hari, konten yang kita dapati adalah berita korupsi, kegaduhan politik, lakalantas, pembunuhan, kemiskinan, dll. Kalaupun ada berita positif, itu ibarat memperoleh seteguk air segar di tengah padang yang tandus. Sejenak memberi semangat untuk maju berjalan sebelum akhirnya kembali sadar bahwa kondisi baruk masih terus mengancam.

Dimana Islaminya keadaan begini. 

Kebetulan dua hari yang lalu saya ditelpon wak Nining Hannover. Wak Ning ini orang Sunda yang menyelesaikan pendidikan doktoral di Jerman dan dahulunya berprofesi sebagai dosen di Indonesia. Namun beliau memutuskan resign sebagai dosen agar lebih berkonsentrasi mengurus anak dan membimbing suaminya yang mualaf.

Setiap mendengar penuturan kisah hidup beliau, selalu saja saya merinding, betapa besar mujahadah beliau dalam mengurus keluarga dan menuntun mereka agar hidup dalam suasana Islami. Sungguh tidak mudah untuk konsisten menutup aurat di tengah masyarakat yang terbiasa membuka aurat, apalagi saat musim panas. Terus menjaga tilawah dan sholat dhuha di tengah masyarakat yang sepanjang siang sibuk memburu dunia. Soal makanan jangan ditanya lagi. Beliau juga sangat ketat dengan kehalalan makanan yang dibeli atau dihidangkan oleh koleganya.   

Pejuangan beliau ini membuahkan hasil yang menenangkan hati. Anak gadis beliau sudah hafal beberapa juz al Qur’an dan kini bercita-cita menjadi hafizah. Dia juga alergi terhadap musik pop dan tidak mau menerima tamu atau bermalam di rumah teman perempuan yang ada lelaki bukan mahramnya.

Kalau gadis model begini tumbuh di dalam pesantren, saya gak begitu surprise. Tapi ini di Jerman, Eropa.

Tapi itulah, sekulerisme Eropa memberikan kesempatan orang untuk memilih jalan hidupnya, dan itu dihormati. Mau mabok atau berbusana super minim ya monggo, asal tidak mengganggu orang lain. Yang anti wine, babi dan aneka party juga dihormati. Konsep lakum dinukum waliyadin benar-benar diamalkan.

Hebatnya lagi ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan urusan publik benar-benar diterapkan. Nabung di bank

gak pake bunga (riba), ngelamar job
gak pake uang pelicin, aparat gak cari-cari kesalahan untuk bisa mendenda masyarakat. Sebaliknya mereka melayani masyarakat dengan kualitas layanan pribadi, hingga urusannya tuntas.

Selama tiga tahun di Jerman, saya belum pernah mendengar khatib Jumat memberikan nasihat untuk sabar, jujur, dan menghormati orang lain. Lha, sabar atas perkara apa, jujur dalam urusan apa. Setiap orang memiliki kapling tugas masing-masing yang diatur secara rinci namun tetap fleksible untuk menghadapi kasus-kasus yang spesifik.

Namun, tata kehidupan di Jerman yang baik dan teratur ini belumlah yang terbaik. Masih ada lagi yang lebih baik. Dan itu dapat ditemui di negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia, termasuk Finlandia dan Denmark. Nah, wak Ning sekeluarga beberapa waktu lalu mengunjungi Norwegia dalam rangka mencari “tanah harapan” untuk menyemai generasi terbaik di masa depan, dan memburu al hikmah yang masih diamalkan masyarakat.

Beliau berkali-kali memuji Allah demi melihat kehidupan di sana. Kambing-kambing yang dihargai hak kebebasannya, tidak dikandangkan sepanjang hari. Ikan-ikan yang lestari karena tidak dieksploitasi secara berlebihan. Pemakaian kantung plastik yang sangat efisien, kurang dari 10 lembar per orang per tahun, jauh di bawah Jerman yang lebih dari 30 kantung per orang per tahun. Alamnya indah dan bersih. Warganya juga ramah-ramah dan ringan dalam menolong orang lain. Beliau berkata, “Tak henti-hentinya kami membaca surah Arrahman di sana. Inilah tafsir nyata surah Arrahman dan surga yang ditunjukkan Allah di dunia.” Saya yang mendengarkan penuturan beliau hanya bisa membayangkan kembali tayangan video klip surah Arrahman yang dilantunkan oleh ust Hanaan At Taqie, ustad bersuara merdu asal Bandung. 

Itulah wajah Islam Skandinavia dalam pandangan orang yang mukim di Eropa Barat selama belasan tahun, dan juga pernah tinggal di Indonesia sekian puluh tahun lamanya.

Bagaimana dengan pandangan lain yang lebih objektif dan diterima secara ilmiah? Pada tahun 2010 Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dari George

Washington University menulis artikel berjudul How Islamic are Islamic Countries? di Global Economy Journal. Mereka mengukur tingkat keislaman 208 negara menggunakan 4 indeks keislaman, yaitu keislaman ekonomi, keislaman hukum dan tata kelola pemerintahan, keislaman hak asasi manusia dan hak politik, dan keislaman hubungan internasional. Setiap indeks diturunkan ke dalam beberapa area dan sub kategori sehingga bisa didekati dengan ukuran-ukuran tertentu. Hasilnya, top 10
negara yang paling islami diduduki oleh negara-negara dengan penduduk minoritas muslim. New Zealand adalah negara yang paling Islami (peringkat 1), diikuti oleh Luxembourg (2), Finland (5), Denmark (6), Canada (7), UK (8), Australia dan Netherlands (9), Norway (12), Germany (17), US (25), dan Singapore
(37). Malaysia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim menduduki peringkat 38 diikuti Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65) dan Turki (103). Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia berada pada urutan 140 atau peringkat 26 diantara sesama negara muslim.

Dengan fakta-fakta tersebut saya pribadi sekali lagi tidak mengatahui dasar argumen Menteri Agama yang menyatakan Islam Nusantara adalah contoh penerapan Islam ideal oleh masyarakat Indonesia

.

Lucunya, beberapa ustad yang pernah mampir ke Jerman, termasuk ustad Rhisyan (alumni al Azhar Mesir) yang pekan lalu mengisi kajian bulanan di Göttingen, berkata bahwa mendidik anak di Jerman lebih baik daripada mendidik mereka di Indonesia. Alasannya, lingkungan Jerman lebih kondusif bagi pengajaran disiplin, kemandirian dan saling menghargai. Anak-anak langsung belajar dari lingkungannya, bukan sekedar mendengarkan pembacaan texbook dari gurunya.

Saya berharap tidak ada yang salah sangka bahwa saya memuja Islam Skandinavia/Eropa hanya karena saya pernah mencicipi hidup di Eropa. Sama sekali tidak. Penerapan Islam di Skandinavia dan negara-negara dengan indeks keislaman yang tinggi tetap saja belum ideal bila ditimbang dengan penerapan Islam di zaman Rasulullah. Tambahan lagi, mereka yang “menerapkan Islam” ini bukanlah kaum muslimin. Bahkan bisa jadi mereka tidak berniat dan tidak tahu telah “mengamalkan Islam.” Akan tetapi menjadikan akhlak dan penerapan aturan yang Islami sebagai tolok ukur keislaman lebih bisa diterima ketimbang mengukurnya dengan penggunaan peci dan sarung.

Jika hati yang selamat lebih bergetar saat merasakan penerapan Islam di Skandinavia daripada Islam di Indonesia, mengapa ada pihak yang terus mengkampanyekan Islam Indonesia/Nusantara sebagai model Islam yang ideal. Jika ada model penerapan Islam yang lebih baik, mengapa kita justru mengambil yang biasa-biasa saja. Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun