Mohon tunggu...
Agung Wi
Agung Wi Mohon Tunggu... -

Penikmat teh hangat dan jajanan pasar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Skandinavia

9 Juli 2015   08:29 Diperbarui: 9 Juli 2015   08:29 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, tata kehidupan di Jerman yang baik dan teratur ini belumlah yang terbaik. Masih ada lagi yang lebih baik. Dan itu dapat ditemui di negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia, termasuk Finlandia dan Denmark. Nah, wak Ning sekeluarga beberapa waktu lalu mengunjungi Norwegia dalam rangka mencari “tanah harapan” untuk menyemai generasi terbaik di masa depan, dan memburu al hikmah yang masih diamalkan masyarakat.

Beliau berkali-kali memuji Allah demi melihat kehidupan di sana. Kambing-kambing yang dihargai hak kebebasannya, tidak dikandangkan sepanjang hari. Ikan-ikan yang lestari karena tidak dieksploitasi secara berlebihan. Pemakaian kantung plastik yang sangat efisien, kurang dari 10 lembar per orang per tahun, jauh di bawah Jerman yang lebih dari 30 kantung per orang per tahun. Alamnya indah dan bersih. Warganya juga ramah-ramah dan ringan dalam menolong orang lain. Beliau berkata, “Tak henti-hentinya kami membaca surah Arrahman di sana. Inilah tafsir nyata surah Arrahman dan surga yang ditunjukkan Allah di dunia.” Saya yang mendengarkan penuturan beliau hanya bisa membayangkan kembali tayangan video klip surah Arrahman yang dilantunkan oleh ust Hanaan At Taqie, ustad bersuara merdu asal Bandung. 

Itulah wajah Islam Skandinavia dalam pandangan orang yang mukim di Eropa Barat selama belasan tahun, dan juga pernah tinggal di Indonesia sekian puluh tahun lamanya.

Bagaimana dengan pandangan lain yang lebih objektif dan diterima secara ilmiah? Pada tahun 2010 Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dari George

Washington University menulis artikel berjudul How Islamic are Islamic Countries? di Global Economy Journal. Mereka mengukur tingkat keislaman 208 negara menggunakan 4 indeks keislaman, yaitu keislaman ekonomi, keislaman hukum dan tata kelola pemerintahan, keislaman hak asasi manusia dan hak politik, dan keislaman hubungan internasional. Setiap indeks diturunkan ke dalam beberapa area dan sub kategori sehingga bisa didekati dengan ukuran-ukuran tertentu. Hasilnya, top 10
negara yang paling islami diduduki oleh negara-negara dengan penduduk minoritas muslim. New Zealand adalah negara yang paling Islami (peringkat 1), diikuti oleh Luxembourg (2), Finland (5), Denmark (6), Canada (7), UK (8), Australia dan Netherlands (9), Norway (12), Germany (17), US (25), dan Singapore
(37). Malaysia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim menduduki peringkat 38 diikuti Kuwait (48), Bahrain (64), Brunei (65) dan Turki (103). Indonesia
sebagai negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia berada pada urutan 140 atau peringkat 26 diantara sesama negara muslim.

Dengan fakta-fakta tersebut saya pribadi sekali lagi tidak mengatahui dasar argumen Menteri Agama yang menyatakan Islam Nusantara adalah contoh penerapan Islam ideal oleh masyarakat Indonesia

.

Lucunya, beberapa ustad yang pernah mampir ke Jerman, termasuk ustad Rhisyan (alumni al Azhar Mesir) yang pekan lalu mengisi kajian bulanan di Göttingen, berkata bahwa mendidik anak di Jerman lebih baik daripada mendidik mereka di Indonesia. Alasannya, lingkungan Jerman lebih kondusif bagi pengajaran disiplin, kemandirian dan saling menghargai. Anak-anak langsung belajar dari lingkungannya, bukan sekedar mendengarkan pembacaan texbook dari gurunya.

Saya berharap tidak ada yang salah sangka bahwa saya memuja Islam Skandinavia/Eropa hanya karena saya pernah mencicipi hidup di Eropa. Sama sekali tidak. Penerapan Islam di Skandinavia dan negara-negara dengan indeks keislaman yang tinggi tetap saja belum ideal bila ditimbang dengan penerapan Islam di zaman Rasulullah. Tambahan lagi, mereka yang “menerapkan Islam” ini bukanlah kaum muslimin. Bahkan bisa jadi mereka tidak berniat dan tidak tahu telah “mengamalkan Islam.” Akan tetapi menjadikan akhlak dan penerapan aturan yang Islami sebagai tolok ukur keislaman lebih bisa diterima ketimbang mengukurnya dengan penggunaan peci dan sarung.

Jika hati yang selamat lebih bergetar saat merasakan penerapan Islam di Skandinavia daripada Islam di Indonesia, mengapa ada pihak yang terus mengkampanyekan Islam Indonesia/Nusantara sebagai model Islam yang ideal. Jika ada model penerapan Islam yang lebih baik, mengapa kita justru mengambil yang biasa-biasa saja. Wallahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun