Di negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, produk dengan label halal merupakan suatu kebutuhan, bukan hanya bertujuan memenuhi kebutuhan konsumsi, namun ada kebutuhan spiritual yang berusaha dihidupi di dalamnya. Dengan adanya kebutuhan akan produk halal, muncul koorporasi yang seolah menjadikan produk halal sebagai komoditas utamanya. Salah satu produk konsumsi yang keberadaan label halalnya cukup penting adalah produk kosmetik seperti make up, skincare, dsb.Â
Merujuk pada konsep "Sacred and Profane" dari Emile Durkheim, tulisan ini merupakan sebuah opini dari hasil pengamatan saya mengenai produk berlabel halal (saya mengambil contoh kosmetik halal)di Indonesia dan Malaysia sebagai suatu bentuk fenomena perbauran antara hal sacred (konsep halal, kesalehan, dsb) dengan profane (perdagangan, komodifikasi, dsb). Saya juga akan menjelaskan bagaimana hubungan antara globalisasi, kebangkitan religiusitas di Asia Tenggara, dan Kapitalisme.
Merujuk pada catatan sejarah, penyebaran agama Islam di Asia Tenggara terjadi melalui proses globalisasi yaitu perdagangan, Islam menyebar melalui kota-kota pelabuhan di wilayah Indonesia dan Malaysia sehingga berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di wilayah tersebut.Â
Kolonialisasi Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan Islam, namun Islam dan monarki tetap memiliki kekuatan tidak penuh atas wilayahnya.Â
Masa pasca-kolonial ditandai dengan terbentuknya negara merdeka baru sehingga monarki dan agama seperti kehilangan kekuatannya, dan ini merupakan awal dari pengaruh globalisasi dalam kehidupan religiusitas masyarakat di Asia Tenggara dimana ajaran agama mengalami rasionalisasi dan modernisasi.
Islam merupakan agama profetik, bagi orang yang melakukan konversi ke Islam harus meninggalkan nilai-nilai dan budaya kepercayaan sebelumnya yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Kesesuaian perilaku dengan aturan yang ada dalam ajaran Islam inilah yang menjadi indikator kesalehan seseorang sehingga pemeluk Islam harus meninggalkan dan menghindari nilai dan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pada masa sekarang, globalisasi adalah suatu hal yang sulit untuk dihindari, pengaruh globalisasi telah masuk ke hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk agama. Para ilmuwan sosial berasumsi bahwa agama akan menjadi salah satu "korban" dari proses rasionalisasi dan modernisasi dalam fenomena globalisasi.Â
Rasionalisasi dan modernisasi dikhawatirkan akan merujuk kepada sekulerisme yang memisahkan antara kehidupan agama dan negara, sehinggga terbentuk suatu fenomena yang disebut sebagai kebangkitan religiusitas, agama seolah resisten terhadap dampak-dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi dengan cara memperkuat posisinya dalam kehidupan masyarakat.
Kebangkitan religiusitas yang paling umum di Asia Tenggara adalah dalam aspek politik, sebagai respon terhadap adanya kemungkinan terciptanya negara berpaham sekuler Islam mencoba untuk melakukan gerakan untuk memperkuat kembali posisinya dalam kehidupan bernegara, di Indonesia dan Malaysia sendiri kebangkitan religiusitas melalui politik Islam sendiri dapat dilihat melalui eksistensi partai-partai berbasis agama.Â
Globalisasi menyebabkan terjadi pergeseran konstruksi religiusitas dari yang makro (negara dan masyarakat) menjadi mikro (individu dan komunitas), agama menjadi suatu hal yang privasi dan individualistik.Â
Kebangkitan religiusitas sejalan dengan pergeseran konstruksi agama ini, agama berusaha masuk ke aspek-aspek kehidupan masyarakat yang lebih mikro atau privat, salah satunya adalah produk konsumsi dan gaya hidup.