Sebagian besar, bahkan hampir keseluruhan konten di koran bacaan bapak isinya sama dengan yang ada di acara berita televisi, tidak akan jauhlah dari berita politik, ekonomi, dan kriminal, paling ada satu hingga tiga halaman yang diisi berita olahraga, lagi-lagi hal bernama politik itu menjadi begitu pentingnya hingga harus update terus, serius dan membosankan.
Seperti berita di televisi dan koran, informasi seputar isu politik disampaikan dengan bahasa yang formal, sehingga tidak semua orang dapat mengerti dan kurang menarik, menurut Denis McQuail (1994:131) salah satu tujuan yang berusaha dicapai oleh media berita di Indonesia adalah untuk national development secara politik, sosial, ekonomi, dan kultur, terdapat kepentingan dari penguasa dan oligarki media di dalam program berita, tak heran bukan bila terbentuk konstruksi serius, formal, dan kaku di acara berita dan isu politik.Â
Berita dan Politik adalah dua hal yang vice versa, acara berita menjadi kaku dan penuh batasan karena menjadi medium kepentingan politik negara dan oligarki media (serius), sedangkan politik yang telah berkonotasi serius menjadi membosankan dan kaku karena disampaikan dalam bentuk berita yang formal. Ya benar, keduanya saling membentuk stigma.
Pada awal tulisan ini, saya sempat menceritakan pengalaman perebutan remote televisi oleh bapak dan ibu, stasiun televisi juga seolah terbagi, tak bisa kita pungkiri bahwa stasiun televisi seperti TVRI, Metro TV dan TV One menjadikan berita dan konten-konten serius sebagai komoditas utamanya.
Sementara stasiun televisi seperti SCTV, Indosiar, dan Trans TV/Trans7 lebih mengutamakan tayangan acara hiburan sebagai komoditasnya, sinetron, reality show, talk show, hingga acara musik dan komedi merupakan format acara yang lebih sering ditonton di stasiun televisi ini.
Kemajuan teknologi informasi memunculkan platform baru, salah satu yang paling populer dan mirip dengan televisi adalah YouTube. Serupa namun tak sama, keduanya sama-sama berbentuk audiovisual, bedanya adalah YouTube bersifat lebih fleksibel.
Bila televisi hanya menayangkan program yang telah ada di daftar programnya dan dengan jadwal tertentu, YouTube memberi kebebasan kepada penggunanya untuk memilih mau nonton apa, dimana, kapan, bahkan memberi kesempatan penggunanya untuk mengunggah kontennya, sehingga terdapat beragam konten YouTube.Â
Umumnya, masyarakat menggunakan YouTube untuk menonton konten-konten seperti prank, review produk, make up tutorial, vlog, video klip musik, atau serial film, sehingga tercipta konstruksi YouTube sebagai sebuah media hiburan.
Stasiun-stasiun televisi (termasuk stasiun televisi berita) tidak getir menghadapi adanya YouTube, dibanding mencari inovasi baru di medium televisi, mereka lebih memilih untuk masuk ke ranah medium YouTube, namun perpindahan ini tidak serta merta mengubah konstruksi tentang berita dan politik di televisi yang serius, kaku, dan formal menjadi lebih menghibur seperti stigma terhadap YouTube yang menjadi platform hiburan.Â
Mobilisasi ini hanya menjadi perpindahan semata tanpa ada perubahan untuk menyesuaikan dengan platform barunya, politik tetap ditampilkan dalam format berita yang seperti bertujuan untuk mempertahankan konstruksinya.
Proses Pergeseran Konstruksi