Baru baru ini saya posting sebuah foto di akun Instagram saya. Pakaian yang saya kenakan adalah pakaian adat Bugis. Pakaian tersebut boleh dikenakan bilamana tuan-puan berkunjung ke pusat kebudayaan dan Rumah Adat Bugis di kota Makasar. Bila ada kelebihan rezeki, ada kesempatan dan niat hati melancong menghibur diri, sekali kali datanglah kesana, lihat pula baiknya kehidupan disana.
Tibalah saya di kota ini sekitar 2017 lalu. Â Negeri Ujung Pandang-Celebes di ujung selatan Pulau Sulawesi. Â Disini pula saya berjumpa dengan kolega dan sahabat saya sesama Taruna bela negara di Cijantung dan Situ lembang, Â 6 tahun lalu, sebagai anggota Resimen Mahasiswa pula di Kampusnya.
Oleh sebab itu, dapatlah kesempatan saya mengenakan pakaian adat Bugis ini, gagah saya rasanya. Macam Sultan Alaudin wibawanya, Raja Bugis nan terkenal arif bijaksana, juga pahlawan nasional yang nama besarnya di abadikan menjadi nama Universitas Islam Negeri di kota Makassar ini.
Terkenanglah, Â bahwa pakaian yang dikenakan ini ada pula sangkut pautnya dengan sosok Zainuddin, Â tokoh utama, dalam novel melayu klasik karangan ulama besar dari Minangkabau Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka.Â
Novel itu berjudul "Tenggelamnya kapal Van Der Wijck", ditulis pada tahun seisuk 1939 di Kota Medan. Tak berkesudahan, Â berulang kali saya membacanya, meski sudah ada pula Filmnya, namun sensasi gubahan sastrawan dan bangsawan ini tentulah berbeda.
Serasa hidup lagi Zainuddin saya pandangi. Dalam hati saya berujar, Â "Malangnya nasibmu bang, Â di Tanah kelahiranmu sendiri Makasar kau dianggap asing bukan orang bugis. Di negeri bapakmu Batipuh, Â kau-pun terbuang karena tak bersuku." Meski hanya tokoh fiksi, sosok Zainuddin saya kira benar adanya, anak tak dapat suku, sehingga tak jelas darah keturunan dalam kekerabatan yang bersilang.Â
Semalang itu nasib si bujang, bila bapaknya tak beristrikan wanita berdarah Minang, sebab secara adat laki laki tak mewarisi suku dalam sistim matrilineal. Â Sehingga hidupnya bagai layang layang putus, tak tentu arah, Â terhempas kian kemari, tak ada tempat berpijak, belum kenal jati diri.
Begitulah negeri ayahnya Minangkabau, ranah nan elok dalam bayangan, Zainuddin pulang ke Minang ingin mencari tau sangkut paut darah dan keturunan bapaknya yang larut dan menjemput ajal di perantauan. Lewat kerabat, sanak sepersukuan bapaknya itulah ia berharap dianggap menjadi bagian keluarga yang sejak lama tak pulang, namun bukan pengakuan yang didapatkan, humpatan malah yang datang. "Zainuddin indak bersuku, Â dia bukan urang awak". Â Semakin jauh Makasar ia bayangkan, lama Zainuddin di rundung duka kecewa antara bertahan atau kembali ke tanah Makasar.
Kesudahannya, dicoba pula jalan yang lain. Dalam perjalan, lama ia pandangi sosok nan elok rupawan, Â Zainuddin pun terpaut hatinya pada gadis yang ditemuinya disana. Seakan menjadi harapan kebangkitan terlepas dari persoalan bertubi tubi, iapun jatuh hati setelah menemukan Hayati, gadis Batipuh, dari keluarga nan beradat, Â berlembaga, Â berketurunan, tulen Minangkabau.
Rupanya Zainuddin salah pula memilih jalan, di ranah ini tak semudah dan seindah di belahan bumi lain dalam menjalin roman, yang akhirnya tak berkesampaian, ikatan itupun diharam-haramkan, di pisahkan oleh beringasnya kebangsawanan kaum ninik mamak, dan ketinggian harta. Demikian  Zainudin kembali larut dalam derita nestapa, nasib tak memihak padanya, naungan cinta tulus dua insan manusia ini dipisahkan oleh ninik mamak nan berkuasa.Â
Cinta Zainuddin untuk Hayati tersimpan, Â bahkan menjadi dendam, kasih yang tak berkesudahan di kenang siang dan malam. Ada jalan bertemu, sebegitu pula jalan memisahkan. Berakhir dalam bayang-bayang, tenggelamlah cinta Hayati bersama karamnya biduk cinta Zainuddin yang tak mau makan sisa orang lain. Sejatinya cinta mereka sama besarnya, namun tak pernah sampai hingga akhir hayat, ulah kungkungan adat pusaka usang.
Begitulah negeri ku Minangkabau, nan kaya raya, Â beradat berlembaga, tak lekang di panas, Â tak lapuk di hujan. Adat begitu dijunjung tinggi, falsafah hidup pagaran budi, namun terasa begitu kejam bila tataran adat itu tak dimengerti.
Di Zaman Zainuddin dulu, kesukuan di Minangkabau masih sangat kentara, konservatif dan militan, sehingga orang adat dipandang kuat dan berkuasa di Minangkabau. Jangan sekali kali menentang adat, bisa terusir dan terbuang, seperti dialami Bapaknya Zainuddin.
Namun pemikiran itu sudahlah berubah, Minangkabau baru hadir lebih dinamis, progresif dan terbuka, selagi tak melanggar syara' ketentuan dalam adat nan sabana adat, adat basandi syara', Â syara' basandi Kitabullah, adat nan bapaneh, Â syara' nan balinduang, Â syara' mangato-adat mamakai, syara' nan Kadim-adat nan kawi, selama itu pula perkara yang baru bolehlah diajukan.
Namun pertimbangan dan musyawarah dari kaum kerabat, mambasuik dari bumi, Â bulek samo di golongkan, Â picak samo di layangkan. Dengan kesudahan Adat adalah menuju kehidupan yang harmonis berkaum, Â bersuku, Â berkorong bernagari. Melalui gubahan ini pula, sudah barang tentu tugas kita bersama adalah merawat Minangkabau.
Putra Chaniago
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H