Mohon tunggu...
Putra Batubara
Putra Batubara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya cuma manusia biasa, tak ada yang istimewa dari saya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemberian Gelar Bapak Pariwisata untuk Jokowi Benar-benar Lucu

15 Februari 2019   12:01 Diperbarui: 15 Februari 2019   12:24 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi yang menarik larangan mengadakan rapat di hotel ini mengingatkan publik atas aturan serupa yang pernah dikeluarkan Menpan RB era Yuddhi Chrisnandi di awal-awal Pemerintahan Jokowi. Namun Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor yang terbukti ampuh untuk menghemat anggaran tersebut tidak berusia panjang. PHRI ketika itu protes karena menyebabkan tingkat akupansi hotel anjlok.

Surat Edaran tersebut kemudian dicabut dengan terbitnya Permen Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor. Permen ini membolehkan aparatur negara menggelar kegiatan di hotel tapi dengan sejumlah syarat. Pembolehan kembali menggelar acara di hotel waktu itu disertai dengan kesepakatan Pemerintah dan PHRI untuk menindak aparatur negara dan pengelola hotel nakal yang melanggar Permen 6/2015 ini.

Terlepas dari itu, protes pengusaha hotel ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pengusaha terhadap 'anggaran' negara untuk menghidupi bisnisnya sangat tinggi. Bahkan sebenarnya, kebanyakan pengusaha Indonesia lebih mengandalkan proyek-proyek negara. Sehingga maju mundurnya perusahaan tergantung Pemerintah. Jadi sangat jarang pengusaha yang menjalankan usahanya atau produknya benar-benar mandiri.

Terkait hal tersebut, meski mungkin tidak sama persis kasusnya dalam konteks saat ini, saya teringat dengan Mohtar Mas'oed dalam buku Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 (1989: 120) yang pernah mengenalkan istilah pengusaha klien dan pengusaha birokratis. Pengusaha klien adalah pengusaha yang bermunculan dan beroperasinya betul-betul tergantung pada konsesi pemerintah dan monopoli birokratis. Sementara pengusaha birokratis adalah para pejabat negara yang mulai melakukan bisnis sebagai manajer perusahaan-perusahaan milik negara dan memperoleh berbagai keistimewaan serta perlindungan birokratis.

Publik memang ingin negara memberikan kemudahan bahkan mendorong pertumbuhan pengusaha. Apalagi jumlah pengusaha Indonesia masih sedikit. Masih sekitar 3 persen dari populasi. Sementara negara-negara maju mencapai rata-rata mencapai 14 persen. Namun Pemerintah harus mencegah munculnya dua jenis pengusaha seperti yang disebutkan Mohtar Mas'oed tersebut. Karena justru membawa dampak buruk terhadap perekonomian secara umum dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN.

Seperti yang pernah terungkap dalam bisnis Ratu Atut Chosiyah. Salah satu bisnis keluarga Gubernur Banten sebelum ditangkap KPK ini adalah di bidang perhotelan. Yaitu Hotel Ratu Bidakara. Sejak berdiri tahun 2011, berbagai kegiatan Pemprov Banten hampir dipastikan digelar di hotel tersebut. (Sumber: Detik.com)

Dinasti politik dan gurita bisnis keluarga Ratu Atut menjadi sorotan nasional. Salah seorang aktivis antikorupsi yang paling vokal 'mendobrak' kekuasaan korup Ratu Atut ketika itu adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, jauh sebelum dirinya menjadi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 2014-2018. Kritik-kritik juga disampaikan lewat tulisan, termasuk buku Akrobat Pembangunan Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi Banten dan Nasional dalam Bingkai Konektivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun