Mohon tunggu...
Putra Batubara
Putra Batubara Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya cuma manusia biasa, tak ada yang istimewa dari saya...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemberian Gelar Bapak Pariwisata untuk Jokowi Benar-benar Lucu

15 Februari 2019   12:01 Diperbarui: 15 Februari 2019   12:24 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://wartakota.tribunnews.com

Ini lucu. Bahkan benar-benar lucu. Presiden Joko Widodo menerima gelar Bapak Pariwisata Nasional Indonesia pada saat harga tiket pesawat naik. Gelar tersebut diberikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Semakin lucu, penganugerahan tersebut dihelat juga pada saat anak buahnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, melarang pejabat Pemerintah Daerah menggelar rapat di hotel.

Kelucuan itu disampaikan langsung oleh Presiden saat menerima penghargaan tersebut dalam acara Gala Dinner 50 Tahun PHRI Senin malam. Media lain ada yang menulis reaksi Presiden atas penobatan dirinya sebagai Bapak Pariwisata Nasional Indonesia dengan kata "aneh".

Sikap Jokowi tersebut sudah benar. Ini mengindikasikan Jokowi tahu diri. Dia merasa tidak tepat, bahkan tidak pantas, untuk menerima reward prestisius dari kalangan pengusaha hotel dan restoran itu. Karena sektor pariwisata saat ini sedang terpukul menyusul kenaikan harga tiket pesawat bahkan hampir mencapai dua kali lipat. Belum lagi kebijakan bagasi berbayar yang juga dikeluhkan banyak orang.

Jokowi bahkan selayaknya malu dengan penerimaan gelar tersebut. Karena pihak yang mendaulat Jokowi sebagai Bapak Pariwisata  pada saat bersamaan juga mengeluhkan kenaikan harga tiket pesawat. Sebab membuat tingkat okupansi hotel menurun. Keluhan semakin bertambah disusul kebijakan Mendagri yang bisa membuat hotel semakin sepi.

Karena itu, jangan salah kalau ada orang yang menilai bahwa penobatan kepada Jokowi tersebut sejatinya bukan reward. Melainkan sindiran dari pihak pengelola hotel. PHRI boleh saja beralasan anugerah itu diberikan setelah melihat kinerja dan komitmen Jokowi sejak menjadi Walikota Solo. Tapi pemberian gelar disertai keluhan membuat Jokowi merasa tidak enak. Apalagi ada ungkapan klasik, kemarau setahun dihapus hujan sehari.

Selain itu pula, sejatinya masih banyak keanehan-keanehan lain yang terkait pengakuan Jokowi tersebut. Pertama, saat mendengar keluhan kenaikan harga tiket, Jokowi mengaku kaget. Ini menunjukkan Jokowi mengetahui informasi kenaikan harga tiket pesawat tersebut baru pada malam itu setelah dilaporkan Ketua PHRI.

Jokowi selama ini membangun citra diri bukan pejabat yang suka berada di belakang meja. Tapi terjun langsung ke masyarakat untuk menyerap informasi lalu memberikan solusi. Karena masalah rakyat ada di lapangan bukan di kantor, kata Jokowi pada masa kampanye capres 2014 lalu. Karena itulah dia suka dan selalu blusukan.

Karena itulah layak diajukan pertanyaan, Jokowi selama ini blusukan ke mana sehingga baru mengetahui harga tiket pesawat naik. Kenaikan harga tiket pesawat sudah lama dikeluhkan masyarakat. Sudah lebih dari sebulan kalau merujuk pemberitaan warga Aceh ramai-ramai membuat paspor untuk bepergian ke Jakarta. Paspor dibutuhkan karena warga Aceh ke Jakarta via Kuala Lumpur dengan penerbangan internasional. Karena tarif penerbangan domestik Aceh langsung Jakarta jauh lebih mahal.

Kalaupun Jokowi tidak blusukan langsung ke Aceh, apakah tidak ada laporan dari bawahannya dan apakah Jokowi juga tidak membaca pemberitaan media? Karena fenomena warga Aceh berbondong-bondong mengurus paspor cukup menyedot perhatian media dan juga netizen di media sosial. Karena sesuatu yang aneh dan dirasa tidak mungkin. Tapi itu terjadi dan dirasakan rakyat. Ataukah Jokowi baru merespons kalau yang mengeluhkan itu para penggede?

Keanehan kedua soal larangan menggelar acara di hotel. Respon Jokowi soal keluhan Ketua PHRI tersebut menunjukkan watak aslinya. Dengan menyatakan 'yang penting bukan Presidennya' dia seakan membela diri sekaligus menyalahkan Mendagri soal larangan tersebut. Karena sebelumnya Jokowi kerap menyalahkan menteri setiap ada keluhan atau protes dari masyarakat terhadap sebuah kebijakan. Jokowi harus mengambil tanggung jawab secara publik baru melakukan teguran bahkan sanksi secara internal kepada yang bersangkutan.

Jokowi sendiri memang kemudian memastikan mencabut aturan atau larangan rapat di hotel tersebut tidak akan ditindaklanjuti. Tapi yang menimbulkan tanya kemudian adalah aturan mana yang dicabut Jokowi. Karena Mendagri ternyata membantah mengeluarkan larangan rapat di hotel. Dia hanya mengeluarkan SOP agar pelayanan konsultasi evaluasi rancangan Perda APBD dilakukan di kantor Kemendagri menyusul insiden pemukulan penyidik KPK di Hotel Borobudur oleh oknum pejabat Pemprov Papua.

Tapi yang menarik larangan mengadakan rapat di hotel ini mengingatkan publik atas aturan serupa yang pernah dikeluarkan Menpan RB era Yuddhi Chrisnandi di awal-awal Pemerintahan Jokowi. Namun Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor yang terbukti ampuh untuk menghemat anggaran tersebut tidak berusia panjang. PHRI ketika itu protes karena menyebabkan tingkat akupansi hotel anjlok.

Surat Edaran tersebut kemudian dicabut dengan terbitnya Permen Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor. Permen ini membolehkan aparatur negara menggelar kegiatan di hotel tapi dengan sejumlah syarat. Pembolehan kembali menggelar acara di hotel waktu itu disertai dengan kesepakatan Pemerintah dan PHRI untuk menindak aparatur negara dan pengelola hotel nakal yang melanggar Permen 6/2015 ini.

Terlepas dari itu, protes pengusaha hotel ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan pengusaha terhadap 'anggaran' negara untuk menghidupi bisnisnya sangat tinggi. Bahkan sebenarnya, kebanyakan pengusaha Indonesia lebih mengandalkan proyek-proyek negara. Sehingga maju mundurnya perusahaan tergantung Pemerintah. Jadi sangat jarang pengusaha yang menjalankan usahanya atau produknya benar-benar mandiri.

Terkait hal tersebut, meski mungkin tidak sama persis kasusnya dalam konteks saat ini, saya teringat dengan Mohtar Mas'oed dalam buku Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 (1989: 120) yang pernah mengenalkan istilah pengusaha klien dan pengusaha birokratis. Pengusaha klien adalah pengusaha yang bermunculan dan beroperasinya betul-betul tergantung pada konsesi pemerintah dan monopoli birokratis. Sementara pengusaha birokratis adalah para pejabat negara yang mulai melakukan bisnis sebagai manajer perusahaan-perusahaan milik negara dan memperoleh berbagai keistimewaan serta perlindungan birokratis.

Publik memang ingin negara memberikan kemudahan bahkan mendorong pertumbuhan pengusaha. Apalagi jumlah pengusaha Indonesia masih sedikit. Masih sekitar 3 persen dari populasi. Sementara negara-negara maju mencapai rata-rata mencapai 14 persen. Namun Pemerintah harus mencegah munculnya dua jenis pengusaha seperti yang disebutkan Mohtar Mas'oed tersebut. Karena justru membawa dampak buruk terhadap perekonomian secara umum dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN.

Seperti yang pernah terungkap dalam bisnis Ratu Atut Chosiyah. Salah satu bisnis keluarga Gubernur Banten sebelum ditangkap KPK ini adalah di bidang perhotelan. Yaitu Hotel Ratu Bidakara. Sejak berdiri tahun 2011, berbagai kegiatan Pemprov Banten hampir dipastikan digelar di hotel tersebut. (Sumber: Detik.com)

Dinasti politik dan gurita bisnis keluarga Ratu Atut menjadi sorotan nasional. Salah seorang aktivis antikorupsi yang paling vokal 'mendobrak' kekuasaan korup Ratu Atut ketika itu adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, jauh sebelum dirinya menjadi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 2014-2018. Kritik-kritik juga disampaikan lewat tulisan, termasuk buku Akrobat Pembangunan Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi Banten dan Nasional dalam Bingkai Konektivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun