Kami berdua memang memiliki hobi yang sama, sama-sama mencintai kopi. Dan karena kopi pula-lah kami berdua dipertemukan. Aku berkenalan dengannya pada acara Kontes Kopi Jakarta yang membawanya menjadi juara ke-dua tingkat Nasional.
Pada saat itu mataku tak henti menatap keahlian tangannya dalam meracik kopi, atraksi demi atraksi ia tampilkan, dan pada saat itu pula aku merasakan ada getaran yang berbeda. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Mengapa tidak.
Meraih juara dua tingkat nasional membuat kedai kopinya tak pernah sepi terhadap pembeli. Â Racikan kopinya semakin dikenal dan semakin memikat banyak pecinta kopi di Jakarta. Dan aku harus paham betul dengan kesibukannya itu. Waktunya tak banyak untukku, jika aku mau, akulah yang harus mengunjunginya. Sementara jika weekend telah tiba, kami lebih senang menghabiskan waktu untuk bekerja bersama, di mana lagi bila bukan di kedai kopi miliknya.
***
Ada yang berubah dari sikapnya beberapa minggu belakangan ini. Dingin. Bahkan dinginnya melebihi suhu udara malam ini yang diterpa hujan dan angin yang cukup kencang.
"Aku mohon maaf."
"Maaf untuk apa?" jawabmu dengan wajah yang datar, sementara tanganmu sibuk meracik kopi beberapa pengunjung yang datang.
"Jika ada hal-hal yang membuatmu terluka."
Kamu menggeleng, tersenyum, namun bukan senyummu seperti yang dulu. Setidaknya begitu yang aku rasakan.
"Kopi buatanmu tak lagi senikmat dulu," tambahku.
"Maaf, karena justru aku yang membuatmu terluka."