Seperti biasa, aku memotret senyummu, kelak aku akan menyimpannya. Semoga bisa bertahan lebih lama. Biasanya kedaluwarsa dalam beberapa hari. Tapi sepertinya kali ini tidak, semoga saja.
Jogja, 3 April, 19.58 WIB
"Halo sayang, sudah makan?"
"Aku tak lapar," bibirmu mengerucut.
"Ada apa? Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini?"
"Aku rindu kamu, aku benci rindu!"
Aku menghela napas sepersekian detik, kemudian melanjutkan bicaraku, "Sayang, kamu tahu mengapa rindu tercipta?"
Kamu menggeleng. Aku tahu betul, hatimu sedang tidak baik-baik saja. "Agar kita lebih menghargai kebersamaan," lanjutku, kemudian menatapmu, matamu memerah, ada bulir bening yang hampir menetes dari sana.
Hanya dalam hitungan minggu setelah kami berdua menikah, aku dipindahtugaskan ke Jogja, sementara dia -- istriku, tetap menjalankan pekerjaannya di Bandung. Ya, kami terpisah jarak, dan kini sudah menginjak di tahun yang kedua.
Jadwal kerja yang padat membuatku jarang pulang ke Bandung, syukur-syukur aku bisa mengunjunginya setiap bulan, jika tidak, kami hanya saling memeluk lewat doa, dan saling bertatap muka berkat kecanggihan teknologi. Karena rindu yang kian membendung itulah, yang membuatnya terus merujuk agar aku bisa dipindahtugaskan kembali ke Bandung.
Jogja, 18 April, 19.05 WIB
"Sudah makan malam?" Kali ini kamu yang menelponku terlebih dulu.
"Sudah istriku, bagaimana dengan kamu?"
"Makan malam dengan siapa? Dengan Linda karyawan baru yang cantik itu?" tanyamu, dengan nada curiga.
Aku tertawa, entah mengapa kecantikanmu meningkat 70% jika kamu sedang terbakar api cemburu.
"Mengapa hanya tertawa? Berarti benar dugaanku?"
Aku tertawa lagi, seraya menggelengkan kepala. "Jogja hujan, Bandung bagaimana? Aku rindu secangkir teh hangat buatanmu, tanpa gula pun terasa manis," ucapku menenangkanmu.
Kamu mengangguk. "Seandainya kamu di sampingku."
"Aku pasti akan mengecup keningmu."
Kamu mengangguk lagi, kali ini ditambah dengan seulas senyuman manis.
"Beberapa hari lagi kita akan bertemu, sayang."
"Dan keesokan harinya kita akan terpisah lagi?"
"Tak apa, rindu masih ingin bermain-main dengan kita," jawabku.
Pembicaraan kami terhenti lima belas menit sebelum pukul sebelas. Aku membaringkan tubuhku. Malam ini memang terasa lebih angkuh dari malam-malam sebelumnya. Rindu, aku juga amat merindukannya.
***
Bandung, Oktober, 21.19 WIB
"Aku rindu."
Kamu menatapku tajam, lalu mengatakan "untuk apa rindu?"
"Untuk kamu, bidadariku."
"Kita sudah tak butuh rindu."
"Tapi aku selalu merindukanmu, tiap detik."
Kamu tersipu malu, pipimu merona. Kita saling bertatap, kali ini secara langsung, bukan lagi melalui layar smartphone.
 "Tetap di sini ya, jangan pergi lagi," ucapmu, lantas memelukku hangat.
Aku membalas pelukanmu, mendaratkan kecupanku di keningmu, dan berjanji tak akan membiarkan rindu bermain-main kembali dengan kita.
Kini rindu sudah selesai bertugas. Waktunya ia untuk pamit pulang. Aku memberinya uang yang cukup banyak, khawatir dalam perjalanan pulangnya, ia kehabisan uang dan memutuskan kembali pada kami. Semoga saja itu tak benar-benar terjadi, karena rindu sudah benar-benar kedaluwarsa.
***
Cerpen ini kami buat untuk mencumbui rindu, Desol, Lilik, Putri.
Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H