Seperti biasa, aku memotret senyummu, kelak aku akan menyimpannya. Semoga bisa bertahan lebih lama. Biasanya kedaluwarsa dalam beberapa hari. Tapi sepertinya kali ini tidak, semoga saja.
Jogja, 3 April, 19.58 WIB
"Halo sayang, sudah makan?"
"Aku tak lapar," bibirmu mengerucut.
"Ada apa? Bagaimana dengan pekerjaanmu hari ini?"
"Aku rindu kamu, aku benci rindu!"
Aku menghela napas sepersekian detik, kemudian melanjutkan bicaraku, "Sayang, kamu tahu mengapa rindu tercipta?"
Kamu menggeleng. Aku tahu betul, hatimu sedang tidak baik-baik saja. "Agar kita lebih menghargai kebersamaan," lanjutku, kemudian menatapmu, matamu memerah, ada bulir bening yang hampir menetes dari sana.
Hanya dalam hitungan minggu setelah kami berdua menikah, aku dipindahtugaskan ke Jogja, sementara dia -- istriku, tetap menjalankan pekerjaannya di Bandung. Ya, kami terpisah jarak, dan kini sudah menginjak di tahun yang kedua.
Jadwal kerja yang padat membuatku jarang pulang ke Bandung, syukur-syukur aku bisa mengunjunginya setiap bulan, jika tidak, kami hanya saling memeluk lewat doa, dan saling bertatap muka berkat kecanggihan teknologi. Karena rindu yang kian membendung itulah, yang membuatnya terus merujuk agar aku bisa dipindahtugaskan kembali ke Bandung.
Jogja, 18 April, 19.05 WIB