Salim terbangun. Ia mendapati kedai kopinya telah kedatangan beberapa pembeli. Dua karyawannya dengan sigap melayani dengan ramah. Sepertinya mereka membiarkan Salim yang tak sengaja tertidur di salah satu meja, ya meja nomor 13!
Jadi yang semalam itu nyata atau mimpi? Batin Salim bertanya-tanya.
Seorang wanita cantik tiba-tiba masuk ke kedai kopi Salim dengan anggunnya. Menebar senyum, membuat beberapa pengunjung kewalahan menjaga mata pasangannya yang jelalatan. Salim kenal betul siapa wanita itu.
"Masih ingat kopi favoritku?" Sang wanita membuka pembicaraan.
Salim gelagapan, matanya justru terfokus dengan bibir merah lawan bicaranya. "Secangkir green coffee tanpa gula, masih sama bukan?" Jawab Salim mencoba tenang.
Wanita anggun itu mengangguk manis. Senyumnya masih sama indahnya seperti dulu, membuat Salim semakin tak mampu mengontrol detak jantungnya yang sedari tadi berlari ke sana kemari.
"Aku pesan dua," wanita itu menambahkan, Nindya namanya, tapi dulu aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Sayang, Love, Darl,dan sejenisnya.
"Dua? Untuk kamu dan.... aku?"
"Oh, bukan. Satu cangkir lagi untuk Rio tunanganku, sebentar lagi dia akan menyusul ke sini."
Salim membalikkan badannya menuju pantry. Dua cangkir green coffee tanpa gula ia racik sendiri dengan raut kecewa.
Nyatanya kedatangan Nindya adalah hal yang lebih menyeramkan daripada kejadian aneh tadi malam. Salim menyerah, setelah dua cangkir green coffee ia letakkan di meja, ia meninggalkan kedai kopinya dengan segera. Sepertinya tubuh dan hatinya butuh istirahat yang panjang.