Kala itu kita berbincang di bawah naungan langit yang cukup bersahabat. Hingga akhirnya sirine kapal membuat perpisahan kita benar-benar nyata. Tak ada air mata yang mengantarkanmu pergi, ya tak ada air mata di lima menit pertama, setelahnya aku hanya mampu mengusap linangan air yang mengalir deras di pipiku.
***
Aku menepati janjiku, menanti kamu pulang kembali, menemuimu, mengambil hatimu yang telah menjadi milikku sejak lama, itu katamu. Di tanggal yang sama, di dermaga yang sama, namun bukan tahun ketiga, melainkan tahun yang kelima.
Dari kejauhan, sosokmu semakin terlihat jelas. Tanganku sibuk merapikan ini itu agar aku tetap terlihat cantik di matamu, ya walaupun lima tahun telah terlewati.
"Bima!" teriakku sambil melambaikan tangan padamu.
Kamu tersenyum, tipis. Kamu tampak kewalahan dengan tiga anak kecil yang berjalan mengikutimu.
"Mereka siapa?" tanyaku ketika langkahmu makin mendekat ke arahku.
"Kamu masih menungguku?"
Aku mengangguk cepat.
"Maaf.. Maaf aku khilaf, tapi aku, aku harus segera pulang." jawabmu agak tergesa-gesa.
Langkah kakimu perlahan meninggalkanku, bersama tiga pasang kaki mungil yang memanggilmu dengan sebutan ayah.