Sebuah tangisan akhirnya menggugah hati Otong, bagaimana tidak, tangisan itu makin lama makin keras saja. Tak peduli bahwa banyak orang tengah berkerumun. Di lapak sederhana bertuliskan “Lontong Istimewa Otong Surotong” para pembeli rela berdesakkan demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
“Lontongnya dua puluh rebu dong, Bang.”
“Bang, jangan lupa sambelnya yang banyak.”
“Lontong sama tahu isi kayaknya enak nih, bungkus dah Bang, gocap ya.”
Otong si juragan lontong, dibuat kewalahan oleh para pembeli, para penggemar lontong istimewa tentunya. Namanya saja lontong istimewa, komposisi dari lontong tersebut tak seperti biasanya yang menggunakan bahan isi oncom ataupun potongan kentang dan wortel. Lontong yang dijual di sini memiliki bahan isi seperti beef teriyaki, salmon katsu curry, dan juga dark chocholate yang dipadu dengan potongan buah strawberry serta cherry. Semua yang pernah mencobanya pasti akan ketagihan dibuatnya. Harganya pun tak tergolong mahal, tak berbeda jauh dengan harga lontong lainnya.
Untuk bulan Ramadan kali ini, tak hanya lontong yang ia jual, tapi juga aneka gorengan dan menu takjil lainnya seperti kolak, es buah, dan lainnya. Setelah dirasa sepi pembeli, Otong langsung bergegas ke lapak sebelah, tempat di mana suara tangisan tadi berasal.
Benar saja, Otong mendapatkan Buya sedang menangis tersedu-sedu. Air matanya tumpah memenuhi semangkuk bubur ayam yang terhidang di atas meja, tanpa tambahan garam pun sepertinya bubur ayam tersebut sudah terasa sangat asin.
“Lo enak, Tong, dagangan laris, lah dagangan gue kalo bulan puasa gini ampun dah, nggak ada yang ngelirik,” ungkap Buya, tangannya mengambil serbet untuk mengelap ingusnya yang sedari tadi ikut menetes.
“Jadi gara-gara itu lo nangis sesegukan?”
Buya mengangguk. “Iya, lah gara-gara apa lagi? Balik modal aja kagak.”
Otong menggeleng tersenyum. “Buya, rezeki udah ada yang ngatur, tugas kita tinggal usaha sama berdoa aja. Rezeki lo sama rezeki gue nggak bakal ketuker kok, tenang aja.”
“Iya sih,” ucap Buya, sedkit menundukkan kepalanya.
Kemudian Otong menjelaskan, bagaimana sebelas bulan sebelumnya (sebelum bulan Ramadan), dagangan Buya lah yang jauh lebih laris dibanding dagangannya. Setiap pagi banyak keluarga yang menantikan Buya, anak-anak kecil yang ingin berangkat ke sekolah, mahasiswa, asisten rumah tangga, bahkan pekerja kantoran pun begitu menggemari bubur ayam Buya. Bubur ayam buatannya memang sangat enak, bahkan tak jarang Otong membeli beberapa porsi untuk keluarga kecilnya di rumah.
“Anggap aja sebulan ini rezeki gue, sebelas bulan sisanya rezeki lo,” jelas Otong.
Buya hanya terdiam, menundukkan kepalanya, ia tampak menahan malu.
“Coba kalo bukan bulan Ramadan gini, mana laku dagangan lontong gue, intinya sih bersyukur aja. Toh sebelas bulan kemaren keluarga gue juga nggak mati kelaperan gegara dagangan lontong gue nggak laku.”
“Iya, gue paham sekarang bro, map nih ye, harusnya gue kudu lebih bersyukur dibanding lo.”
“Iya, gak apa-apa bro, biasalah, manusia suka khilaf.”
Lalu keduanya saling berjabat tangan dan, berpelukaaaaaaaaan. Ups, ini bukan adegan Teletubbies lho!
Sumber Gambar : Lontong Istimewa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H