Aku mengangguk dan tersenyum tipis. “Ibu harus bekerja, Nak. Kamu malam ini sama Mbak Ning ya.” kataku menyebut nama keponakanku yang ikut tinggal bersama kami.
Anakku mengangguk cepat. “Iya. Tenang aja Ibu bisa pergi. Aku nggak akan cengeng. Kan aku udah janji jadi anak baik.”
Anak baik? Ah, rasanya dada ini semakin sesak.
***
“Baru pulang, Bu?”
Aku terlonjak saat mendapati lampu ruang tamu hidup secara tiba-tiba. Padahal aku sudah berusaha membuka pintu sepelan mungkin untuk tak membangunkan siapapun. Tapi sepertinya dugaanku salah, karena kini kulihat tubuh anakku sudah berdiri tak jauh dariku dengan tangan bersidekap di dada.
“Kamu ini, Nak, ngagetin Ibu aja!” kataku sembari menghempaskan diri di atas sofa. Lelah.
“Tadi aku di sekolah belajar tentang hormat kepada orangtua.”
Aku diam. Berpura-pura tak mendengarkan. Anakku, kini berusia tiga belas tahun. Dia sudah tahu profesiku. Entah darimana ia tahu, ia tak pernah mengatakannya. Namun aku sudah bisa menduga jika ia terbiasa mendengar gunjingan para tetangga-tetangga. Ah, siapa peduli dengan mereka.
“Sebagai anak, kita wajib hormat dengan orangtua apalagi Ibu. Karena Ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan mengurus kita dari kecil. Durhaka namanya kalau kita melawan dengan orang tua. Tak peduli seburuk apapun mereka, kita sebagai anak harus tetap bersikap baik.”
Hatiku terasa mencelos. Nyeri. Anakku terlalu cerdas. Dia selalu tahu bagaimana membuatku bersalah dengannya. Pekerjaan ini seharusnya sudah dihentikan. Tapi aku masih melakukannya. Kebutuhan yang semakin mahal serta biaya hidup yang terus membengkak, membuatku tak bisa keluar dari profesi ini. Aku tak punya gelar apapun, pendidikanku hanya sebatas SD. Jadi hanya ini yang bisa kulakukan.