Oleh: Imas Siti Liawati dan Putri Apriani
"Bu, apa di sini ada surga?" tanya anakku, menggenggam kedua kakiku.
Anakku semakin besar. Usianya kini menginjak angka lima. Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan begitu saja, beberapa bisa kujawab, beberapa lagi tidak. Ada satu pertanyaan yang menjadi favoritnya, hampir setiap hari ia lemparkan pertanyaan itu padaku. Aku hanya dilempar pertanyaan, tapi rasanya mungkin hampir sama ketika aku dilempar dinamit berkekuatan tinggi.
"Bu, Ayah di mana? Apa aku punya Ayah?"
Jurus andalanku ketika pertanyaan itu keluar adalah mengatakan bahwa Ayahnya sedang bekerja di kota yang sangat jauh. Dan seketika ia mengangguk percaya padaku. Tapi anehnya, keesokan harinya ia seakan tak memercayaiku dengan menanyakan pertanyaan yang sama.
Ah, bahkan aku tak tahu Ayahmu yang mana, Nak, batinku.
Setiap malam, ketika anakku tertidur pulas. Aku beranjak pergi mencari uang, menguras kantong pria-pria hidung belang yang haus akan nafsu. Yang rindu belaian wanita jalang karena tak puas hidup dengan satu istri.
Yah, sementara hanya itu yang mampu aku lakukan, agar aku dan anakku dapat terus menjalani hidup.
"Bu, apa di sini ada surga?" tanya anakku dengan menggenggam kedua kakiku. Aku terkesiap seketika. Tanpa sadar kutepis tangan anakku. Ia menatapku bingung. Cepat-cepat kuulas senyuman dan menariknya untuk duduk di sebelahku.
“Maafkan Ibu. Tadi Ibu sedikit kaget,” kataku pelan.