Aku dan Lulu sedang bermain di Sekolah siang itu. Aku dan Lulu sama-sama bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Kota Padang Panjang. Kami sama-sama duduk di kelas delapan. Lulu berada di kelas 8H, sedang aku berada di kelas 8F.
"Lulu! Tunggu bentar, ya?" Pintaku kepadanya.
 Ia menyetujui ucapanku. Tepat di sebelah pintu berwarna biru ia menyenderkan bahunya. Sabar menunggu. Setelah mengambil kartu komite dari dalam tas, akupun segera mengajak Lulu pergi ke ruang TU.
 Kami berjalan beriringan. Lulu sesekali bersenandung kecil, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Sesampainya di depan ruang TU, aku memberikan sejumlah uang yang kusebut sebagai uang komite.
 Aku bergerak gelisah, sebab teringat janjiku dengan Lulu akan pergi ke kantin setelah membayar uang komite. Aku khawatir ia merasa bosan dan sudah tak sabar lagi. Sementara, Lulu yang aku khawatirkan tengah sibuk mengamati kolam ikan.
 Setelah menerima kartu komite, aku bergegas menghampiri Lulu. Namun saat aku sedang berjalan kearahnya, ia memanggilku dengan sedikit berteriak.
"Ras! Kayaknya dibawah sana ada anak kucing deh" teriaknya. "Aku barusan denger suara anak kucing, kayaknya dari bawah sana" sambung Lulu seraya menunjuk kotak yang berada di sebelah pintu wc ruang TU.
Â
 Kami segera menuruni anak-anak tangga tersebut secepat mungkin. Lulu yang kebih dulu sampai segera melihat kotak tersebut. Ia terperanjat kaget sebab melihat banyak bercak darah pada bulu anak-anak kucing yang diperkirakan masih berusia 1 bulan itu.
"Ya Allah, Ras. Aku takut" sebut Lulu saat mencoba menjauh dari kotak tersebut.
 Aku yang merasa penasaran dengan cepat menghampiri kotak tersebut. Kulihat anak-anak kucing tersebut sudah tergolek tak berdaya. Dapat kupastikan hanya satu anak kucing yang masih hidup. Anak-anak kucing tersebut sepertinya mati karna dimangsa kucing jantan dewasa.
 Saat aku dan Lulu sedang melihat kucing-kucing tersebut, seseorang menghampiri kami secara tiba-tiba dari belakang.
"Manga kalian disitu tu?" Bariton suara laki-laki itu membuat aku dan Lulu terperanjat kaget. Mata Lulu membulat sempurna, tidak berani berbalik. Aku memberanikan diri untuk berbalik. Netraku menangkap seorang bapak-bapak berperawakan tinggi yang tengah menatap kami dengan tatapan curiga. Pada bagian depan bajunya aku dapat membaca bahwa dia merupakan seorang Satpam sekolah kami.
"Kita lagi ngeliat kucing, pak" jawabku singkat.
"Jan bagaduah lo, beko mati nyo. Baliak lah ka kelas kalian lai!" Perintahnya.
 Aku dan Lulu kemudian bergegas pergi ke kelas masing-masing setelah berpamitan dengan Satpam tersebut. Kami membatalkan rencana berbelanja secara tiba-tiba.
 Saat diperjalanan, Lulu kembali membahas anak-anak kucing tadi. Aku ikut bersedih tatkala Lulu mengungkit kejadian saat kami pertama kali melihat isi kotak kardus tersebut.
 Aku mendapat ide cemerlang saat itu "Lu, gimana kalau kucing tadi kita bawa pulang aja?" Tawarku dengan bersemangat. Lulu terlihat berpikir sejenak, memikirkan pertanyaanku barusan.
"Mau diletakkin di Rumah siapa? Di Rumahku ga bisaa, aku takut nanti kucingnya jalan ke pinggir jalan terus kegiling mobil" ia mengeluh sendu.
 Aku berpikir cukup lama. Menimbang-nimbang hal apa saja yang akan terjadi jika kucing yang baru saja kami beri nama Pussy ini kubawa pulang. "Yaudah di rumah aku aja Lu, kayaknya bisa dehh" finalku.
 Kami bersorak kegirangan sebab akhirnya dapat menemukan cara untuk menyelamatkan satu-satunya anak kucing yang tersisa. Aku dan Lulu bersepakat untuk saling berkontribusi dalam menjaga Pussy.
 Lulu memberikan spet agar mempermudahku saat memberi Pussy susu kucing. Aku membeli susu kucing dan makanan basah untuk Pussy. Ayahku membuatkan sebuah kandang kucing yang dilengkapi dengan lampu hangat di dalamnya.
 Kondisi Pussy mulai membaik beberapa hari kemudian. Aku rutin memberikan kabar-kabar terbaru Pussy kepada Lulu. Lulu terlihat bersemangat setiap mendengar kabar terbaru tentang Pussy dariku.
 Namun, hal itu ternyata tidak berlangsung lama. Kondisi Pussy memburuk. Pussy tidak mau makan sehingga tubuhnya selalu terlihat lesu. Ia banyak tertidur dan berbaring dan tidak seaktif biasanya.
 Hingga suatu hari Pussy memilih untuk menyerah. Aku menangis sepanjang hari sebab hari-hari terakhir bersama tidak kugunakan sebaik mungkin. Aku disibukkan dengan kegiatan les yang menyita waktuku setiap hari.
"Lu, Pussy udah ga ada. Pas mau kasih makan aku megang badan dia dan udah terasa dingin. Aku ga tega" isakku dipesan video yang kukirim padanya.
Â
 Aku mengabari Lulu lewat applikasi Whatsapp. Lulu terlihat sangat sedih. Aku tetap mencoba menghiburnya walau saat itu emosi kami sama-sama tidak stabil.
 Pada sore harinya, aku mengubur Pussy tepat di depan rumahku. Aku sudah membungkus tubuhnya dengan kain putih. Hari hujan kala itu membuat hatiku semakin larut dalam kesedihan.
 Walau waktu kami saat menjaga Pussy hanya sebentar, tapi hari-hari tersebut merupakan pengalaman yang sangat berkesan di dalam hatiku dan Lulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H