Mohon tunggu...
Oom Somara De Uci
Oom Somara De Uci Mohon Tunggu... Seniman - Radio Rarama Kedaton Cibasale

Pegiat Seni dan Budaya. Sepakbola, jalan-jalan, baca dan ngariung jadi hobi. Tinggal di Pustaka Kemucen, Aryakamuning 19 RAJAGALUH - MAJALENGKA. 45472

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngabungbang, Tradisi Caang Bulan 14 Rajagaluhan

4 Mei 2013   18:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:06 3130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"sudah banyak milik kita yang menghilang entah kemana

sehingga kita menjadi asing sejarah sendiri..."

Ayo Belajar, Sawung Jabo

Diantara begitu banyaknya tradisi pada masyarakat Sunda, salah satunya adalah Ngabungbang, sebuah tradisi yang masih hidup di daerah Rajagaluh, Majalengka. Desa Rajagaluh ini terdapat di wilayah 3 Cirebon dan masuk pada wilayah administratif kabupaten Majalengka.  Jika anda masuk dari kota Bandung, maka perlu sekitar 120 Km dari kota Bandung dan 275 Km dari arah Jakarta. Sebuah terminal bis untuk 2 kota itu menjadi penanda. Hanya perlu berjalan kaki satu kilo meter lagi untuk sampai ke baleriung desa Rajagaluh.

Acara Ngabungbang ini diadakan di pendopo baleriung desa Rajagaluh. Bangunan desanya sangat megah dengan halaman parkir yang juga lega. Baleriung ini untuk membedakan dengan penyebutan baleirung yang sesungguhnya artinya sama saja sebagai tempat bertemu saling bertatap muka. Irung dalam bahasa Sunda artinya hidung. Sedangkan riung artinya berkumpul. Bukankah pada saat berkumpul itu kita akan juga saling melihat hidung? Begitulah kira-kira.

Ngabungbang sesungguhnya dimiliki oleh hampir semua masyarakat tatar Sunda. Hanya saja khusus untuk masyarakat desa Rajagaluh dan sekitarnya, tradisi ini memiliki arti penting. Menikmati cahaya bulan tepat pada saat bulan penuh atau purnama menjadi inti dari tradisi ini. Sudut pandang agama menyebutnya sebagai tadabbur alam, sekaligus tafakur alam, menjadi semacam tanda syukur terhadap kelimpahan yang diberikan Tuhan melalui alam semesta raya dengan wujud cahaya bulan penuh. Dua orang tetua kampung selalu menghitung dengan disiplin ilmu tersendiri untuk menentukan jatuh tepatnya bulan penuh itu yang ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.

Mulasara Iket Cakraningrat

Acara biasanya dimulai selepas Isya. Walaupun segera sesudah magrib tiba, cahaya bulan sudah sedemikian menggoda. Jam 20.00 acara dimulai. Biasanya acara dibuka dengan cara memakai iket Cakraningrat. Acara pembukaan ini merupakan prosesi awal sesudah doa pendek atau rajah bubuka yang diucapkan sederhana saja. Acara Mulasara Iket Cakraningrat ini sebenarnya adalah mengenalkan cara berdandan "lalaki" yang menjadi peserta Ngabungbang. Iket Cakraningrat ini dikenakan oleh masyarakat Rajagaluh sebagai penghormatan terhadap Raja paling legendaris dengan nama yang sama yaitu Prabu Cakraningrat.

Jika anda berasal dari daerah lain dan datang dengan rupa iket yang lain, tentu tidak akan dipermasalahkan. Hanya saja jika anda berminat belajar maka itulah saat yang tepat untuk mengenal busana iket ini dalam praktiknya. Karena memang iket Cakraningrat ini sangat berlainan dengan iket Tatar Sunda umumnya yang pasagi (segi empat) atau juru tilu (segi tiga). Iket Cakraningrat ini ngagebar panjang seperti karembong. Ada sekitar 17 teknik variasi dari cara pemakaian iket ini, hanya saja pada prosesi awal ini hanya dikenalkan cara memakai iket ini pada pola standar. Jika ada satu pengunjung yang style iketnya lain biasanya dialah yang akan memperkenalkan cara memakai iket itu sebagai bentuk penghormatan.

Prosesi Iket ini biasanya memakan waktu sampai satu jam lamanya, tergantung minat dan apresiasi pengunjung. Harap diingat, acara Ngabungbang ini sangatlah relaks sehingga kadang tanya jawab silih berganti memenuhi rasa ingin tahu dalam hal busana iket ini.

Iket Cakraningrat ini telah diikutkan dalam perbagai workshop. Termasuk di Cigugur, Kuningan dimana pesertanya ada yang berasal dari Brunei Darusalam dan juga Malaysia. Iket ini pun ramah digunakan oleh kaum perempuan, tentu dengan teknik dan cara yang sedikit berbeda.

Folklore Atau Ceita Saur Sepuh

Acara selanjutnya adalah mendengarkan cerita saur sepuh yang disampaikan oleh tetua kampung atau sesepuh. Mang Pulung namanya. Ia adalah orang yang sederhana saja. Malah orang sekampung kami mengenalnya sebagai "Tukang Lauk". Pedagang ikan yang setiap hari mangkal di pasar ikan air tawar Rajagaluh. Ia memiliki gelar Abah Delar, sebuah parodi heureuy "mun diandel nya kelar". Artinya kalau dipercaya untuk berbicara hal itu ya jadilah. Tentu saja, pada saat Ngabungbang itu beliaulah yang menjadi semacam superstar. Cerita tentang kampung kami mengalir bersama munculnya cahaya bulan purnama dan wangi kopi yang tersaji.

Prabu Siliwangi yang agung, masa muda Pamanah Rasa yang perkasa, pun hingga Walangsungsang, ditambul dengan khidmat. Petualangan, cinta, kekuasaan dan pengkhianatan tersaji dalam bahasa tutur yang santun. Pengunjung yang umumnya adalah anak muda, kadang hadir dengan segudang pertanyaan yang diluar dugaan, namun sang tetua, menjawabnya dengan sareh dan sabar. Rehat kami adalah tawa yang panjang atau khusu yang mistis, maklumlah cerita soal Sunda itu adalah laksana dongengan leleuhur yang ikut hadir dalam ruang rindu yang syahdu.

Tapa Bisu

Acara selanjutnya adalah Tapa Bisu. Biasanya jam sudah menunjukan pukul 00. Tapa Bisu ini adalah berkeliling memutari bangunan Balai desa sebanyak 7 putaran. Tidak berbicara, tidak merokok, dan tidak menyalakan hp. Berdzikir atau berwiridan sangat dianjurkan di dalam hati saja.  Lelaku ini melawan arah jarum jam dengan posisi jantung di kiri putaran dan tanpa alas kaki.Walaupunprosesi ini dilakukan bersama-sama namun praktiknya dilakukan sendiri-sendiri.

Didalam cerita saur sepuh, begitulah Raja kami melakukannya. Tentu tidak semata mengelilingi balaidesa. Ia mengunjungi seluruh tanah kami, saamparan jagad Sunda, mengunjungi rakyatnya sepenuh hati, sepenuh cinta. Balaidesa hanyalah sebagai lambang saja. Langkah-langkah putaran itu sungguh-sungguh khidmat. Ia menjadi lelaku para lelaki, yang mencoba sadar pada potensi kepemimpinannya. Dijurung  teuneung, ludeung. Maju dan berani.

Banyak yang merasai perjalanan yang hampir-hampir mistis ini. Semacam perjalan batin. Ada yang bertemu lelaki berjanggut, berambut putih atau bertemu harimau. Itu biasanya disampaikan setelah Tapa Bisu selesai. Mungkin sulit untuk percaya, namun itu adalah pengalaman dari masing-masing peserta.

Kungkum di Janawi

Acara sebenarnya berakhir setelah Tapa Bisu itu. Namun biasanya dilanjutkan dengan acara Kungkum di telaga Janawi. Telaga Janawi ini kini masuk pada wilayah administrasi desa Payung, 9 Km jauhnya. Biasanya kemudian mesti ditempuh dengan berkendaraan hinga menuju telaga. Telaga Janawi adalah peninggalan Prabu Cakraningrat yang arinya tempat turunnya dewi Gangga dan Janmu. Dari sana terambil kata Jannah Vi, Janmu Wi.

PesertaNgabungbang kemudian mandi berendam di sumber mata air yang jernih itu, juga ditemani cahaya sinar bulan yang penuh sepenuh-penuhnya.

Jika anda berminat, hitunglah sendiri kapan purnam itu tiba. Datanglah ke kampung kami. Bulan di kampung kami selalu indah......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun