Di Indonesia, jarang ada buku tentang gangguan mental yang ditulis langsung oleh penderitanya. Biasanya, buku-buku tentang gangguan mental ditulis oleh para psikolog atau psikiater berdasarkan penelitian mereka.
Hal ini terjadi karena para penderita gangguan mental sering kali belum memahami emosi mereka sendiri, apalagi menuliskannya. Selain itu, stigma negatif dari masyarakat membuat mereka takut untuk jujur. Bahkan, mereka sering enggan meminta bantuan dari profesional.
Ditulis oleh Patresia Kirnandita, yang didiagnosis dengan Borderline Personality Disorder (BPD), buku berjudul "Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa" patut diapresiasi. Buku ini istimewa karena Patresia berani menceritakan pola asuh orang tuanya dan luka yang dia rasakan selama ini.
Tema utama buku ini adalah tentang luka masa kecil. Ini adalah konsep yang diperkenalkan oleh Carl Gustav Jung (1875-1961), yang berarti bagian dari kepribadian seseorang yang masih bereaksi dan merasa seperti anak kecil.
Patresia memulai ceritanya dengan menggambarkan pola pengasuhan orang tuanya. Dia menceritakan beberapa kejadian di masa kecil yang menyebabkan luka batin (Inner Child). Ini termasuk perintah orang tuanya untuk makan, pengabaian terhadap perasaan dan emosinya, serta rasa tidak percaya terhadap orang tuanya. Patresia menulis :
Suatu hari sepulang sekolah saat SMA saya mendapati posisi buku diari yang tak terletak sebagaimana saya taruh sebelumnya. Tidak ada orang lain selain Mama di rumah ketika itu. Dari situ kekesalan saya membengkak, dan saya mulai mengunci kamar bila hendak pergi, entah ke sekolah atau ke gereja. Selama bertahun-tahun saya hanya keluar kamar untuk mengambil makan dan mandi atau buang air. - hal: 10.
Kejadian tersebut begitu membekas dan membuat Patresia sulit memercayai orang lain. Orang pertama yang kehilangan kepercayaannya adalah orang tuanya sendiri. Ironisnya, orang yang paling dekat dengannya, baik secara darah maupun fisik, justru adalah orang yang tidak dia percayai.
Buku ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan atau mengkritik para orang tua. Namun, buku ini jujur dalam mengakui bahwa beberapa perlakuan dari orang tuanya telah melukainya.
Dengan kata lain, kejujuran seorang anak dalam mengungkap pola asuh orang tua yang menyakitkan (Toxic Parenting) tidak boleh dianggap sebagai kurang ajar. Ini adalah bagian dari proses penyembuhan luka batin atau inner child yang terluka. Luka yang disembunyikan akan sulit untuk disembuhkan.
Kita menyadari bahwa kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun psikologis, sering kali menular. Seseorang yang mengalami luka batin dari masa kecil karena pola asuh orang tua yang mengizinkan kekerasan cenderung melakukan hal serupa terhadap anaknya di masa depan.
Mungkin orang tua Patresia juga mengalami perlakuan yang sama dari orang tua mereka di masa kecil. Dengan penuh perasaan, Patresia menuliskan :
... Kalau kami bisa bertemu lagi di semesta lain, saya di posisi sekarang sebagai anaknya, yang sama sepertinya sebagai orang dewasa, saya akan memilih menemaninya, secanggung apa pun awalnya karena kami tak pernah benar-benar dekat. Saya berharap dia membagikan sedikit rasa sakit atau kecewanya karena mungkin dulu diperlakukan Mbah sebagaimana ia memperlakukan saya, sama-sama berjalan memulihkan diri sebagai anak-anak yang pernah terluka. - hal: 211.
Dengan kata lain, mengungkapkan luka dari masa kecil bukan hanya untuk penyembuhan diri sendiri, tetapi juga untuk menghentikan siklus kekerasan agar tidak ada lagi korban di masa depan.
Identitas BukuÂ
Judul: Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa
Penulis: Patresia Kirnandita
Penerbit: EA Books
Cetakan: Pertama,
 2021
Tebal: xviii + 230 halaman
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI