Membaca karya sastra berarti kita ikut mengalami berbagai peristiwa dalam cerita dan merasakan apa yang dirasakan oleh para tokohnya serta memahami alasan di balik tindakan mereka. Menurut Jacques Lacan, yang menggerakkan kehidupan manusia adalah hasrat. Hal ini juga berlaku dalam karya sastra: Hasrat adalah pendorong utama cerita.
Hasrat bisa terlihat dalam karya sastra melalui para tokohnya dan bisa dibaca dari karakter, tindakan, hingga perilaku mereka yang kompleks. Seperti dalam novel keduanya yang berjudul, "Seribu Malam Jahanam", Intan Paramadhita menunjukkan bagaimana tokoh-tokoh utama berusaha menemukan hasrat kebebasan dalam diri mereka melalui serangkaian cerita.
Perjalanan tiga gadis, yaitu Mutiara, Maya, dan Annisa, dimulai dari ramalan Nenek Victoria tentang ketiga cucunya.Â
Kalian punya jalan masing-masing. Satu cucu pergi melihat dunia. Satu pergi mencari Tuhan. Satunya lagi, melindungi rumah, menjaga semua. - hal: 42.
Mutiara menjadi penjaga, Maya menjadi pengelana, dan Annisa menjadi pengantin. Namun ternyata, ramalan dari Nenek Victoria ini menjadi kutukan bagi cucu-cucunya, yang membuat mereka berusaha membebaskan diri mereka masing-masing dari kutukan tersebut.
Muti anak mama, mesti kuat meski papa hampir mati dan Annisa berhamburan. - hal: 82.
Pertama adalah Mutiara. Dia menjaga keluarganya, merapikan rumah, menyelesaikan masalah, menjadi perawan tua, dan merawat empat kucing yang dianggapnya seperti anak sendiri.
Mutiara mulai menjelajah untuk membebaskan diri dari peran sebagai penjaga dan merasa bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri, setelah masalah-masalah meruncing di dalam dirinya dan pengakuan dosa besar di malam seribu jahanam.
Kedua, Maya. Maya merupakan anak kedua, tetapi bukan anak mama ataupun papa. Dia putri lain. Ramalan dari Nenek Victoria berbunyi :
Kau berada di atas perahu, berkelana dengan buku-buku. - hal: 42.
Begitulah perjalanan Maya. Dia terus berlayar dari satu negara ke negara lain dengan membawa buku dan tulisannya.
Maya menemukan kebebasan dengan menetapkan rumah. Dia menetap di rumah Mutiara, perahunya berlabuh dan dia mengambil peran sebagai penjaga bagi yang lainnya.
Annisa, anak ketiga. Bagaimanapun Annisa anak papa. Kesayangan papa. - hal: 298.
Terakhir ada seorang putri yang sangat cantik dan penuh cinta, dia menjadi pengantin yang paling indah dan merasakan penuh kasih dalam hidupnya. Dia menginginkan segala sesuatu yang utuh, termasuk cinta yang tulus dalam hatinya. Dia adalah Annisa.
Annisa memilih untuk membebaskan diri dengan mengubah identitasnya menjadi seorang teroris. Dengan membawa bom di pinggangnya, dia meledakkan dirinya sendiri bersama suami dan dua anaknya. Annisa mengambil keputusan untuk tidak lagi mematuhi aturan dan ekspektasi keluarganya, tidak lagi menjadi putri yang taat, yang penuh kasih dari keluarga atau seorang pengantin.Â
Bagi Annisa, cinta sejati hanya milik Allah ...., bukan milik keluarga. - hal: 298.
Annisa menentukan nasibnya sendiri yang tidak terikat pada keluarga. Dia mengubah pandangan yang keluarganya gambarkan padanya dan itu adalah bentuk pembebasan dirinya.
Namun, ada seorang gadis yang terlupakan. Dia tumbuh sebagai minoritas, namun tak terbatas, yang bernama Rosalinda. Dia yang sekarang bernama Rohadi, adalah anak dari pembantu di rumah Victoria. Setelah mengalami fitnah dari Annisa dan ayahnya, Rohadi memutuskan untuk membebaskan diri. Dia menjadi seorang transpuan dan menjelajah ke Jakarta, Yogyakarta, hingga Sydney.
Dia melanjutkan pendidikannya, menjadi seniman, dan pendongeng. Dia adalah seorang gadis yang terlupakan dan menjadi individu yang tidak terbatas; mengambil peran sebagai penjaga, pengelana, dan pengantin dalam hidupnya.
Karya-karya Intan Paramaditha tidak hanya mengulas topik feminis, isu-isu sosial politik yang terkait dengan tubuh, seksualitas, dan kekerasan yang dialami perempuan, serta cerita-cerita Islami, mitos Nusantara, dan dongeng-dongeng yang gelap. Dalam novel ini, dia juga mengangkat tema tentang keinginan untuk meraih kebebasan dan suara-suara yang sering kali terlupakan, terpinggirkan, dan dilupakan orang.
Kisah Rosalinda (Rohadi) sebagai seorang transpuan, mewakili suara dari mereka yang menjadi minoritas, dan mengalami berbagai liku kehidupan yang dipengaruhi oleh takdir yang tak terduga.
Segala hal dalam hidupnya dirampas oleh keluarga dan masyarakat hingga sengaja dipinggirkan dari tatanan sosial. Namun, ialah pewaris dunia ketiga, dunia penuh solidaritas merangkul sesama, mendirikan komunitas transpuan dan aktif di kegiatan pengajian.Â
Kami bertahan dan menabuh genderang. - hal: 267.
Seluruh cerita dalam prosa ini tersusun dari berbagai mitos yang tumbuh di masyarakat Indonesia, praktik keagamaan, dan motif-motif yang tersembunyi di balik tindakan-tindakan keagamaan. Penyampaian ini dibuat melalui berbagai gaya penceritaan, termasuk dari premis cerita, surat-surat, hingga pertunjukan dongeng di panggung.
Cara pencerita melompat dari satu cerita ke cerita lainnya tanpa jejak adalah keunggulan dan juga kelemahan dalam novel ini. Keterampilan melompat yang rumit dan sulit diikuti membuatnya menjadi tantangan bagi pembaca untuk tetap terhubung atau tersesat dalam alur penceritaan yang berliku. Pembaca perlu membaca dengan penuh perhatian dan kepandaian untuk mengikuti dengan baik.
Selanjutnya, kekurangan sosok yang sempurna, keutuhan dalam karakter dalam novel ini, menjadi hal yang paling mencolok. Setiap tokoh dalam novel ini menunjukkan sisi-sisi keburukannya dan memperlihatkan segala kecacatan dalam diri mereka. Mereka telah kehilangan sesuatu, baik oleh keluarga maupun masyarakat. Dunia ini bekerja dengan cara yang demikian; tidak pernah ada yang benar-benar sempurna.
Identitas BukuÂ
Judul: Buku: Malam: Seribu Jahanam
Penulis: Intan Paramaditha
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Juni 2023
Tebal: 362 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm
ISBN: 978-602-06-7144-4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H