Kajian tentang kedukaan, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti rasa susah atau sedih, sudah banyak dibahas dalam berbagai buku. Namun, pembahasannya sering kali terasa suram dan menakutkan. Jarang sekali ada yang membahas duka dengan cara yang ringan dan lucu.
Hal ini mungkin terjadi karena kebanyakan orang menganggap kedukaan adalah sesuatu yang sakral, sehingga tidak pantas dijadikan bahan bercandaan. Terutama duka akibat kematian, menertawakannya dianggap tidak sopan dan tidak simpatik.
Namun, buku berjudul "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" ini membahas kedukaan dengan cara yang ringan dan penuh humor. Tujuannya bukan untuk mengolok-olok situasi duka, tetapi untuk menciptakan suasana yang tenang dan menyenangkan, sehingga orang yang sedang berduka lebih mudah menerima topik yang dibahas.
Ditulis oleh Andreas Kurniawan, seorang dokter spesialis jiwa, buku ini menceritakan tentang pengalamannya menghadapi dan pulih dari duka. Dokter Andreas mengalami duka tiga kali akibat kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Pertama, ketika ayahnya meninggal tiga bulan sebelum wisuda kelulusannya dari sekolah spesialis jiwa. Kedua, saat sahabatnya meninggal. Terakhir, ketika anaknya meninggal pada usia sekitar satu setengah tahun.
Dokter Andreas mengingatkan beberapa hal penting yang harus dihindari saat mencoba pulih dari duka. Jangan membandingkan kesedihan seseorang dengan orang lain, hindari mengatakan hal-hal yang bisa menyakiti perasaan, dan jangan mengajari orang lain cara pulih dari duka karena setiap orang memiliki cara yang berbeda sesuai dengan keadaannya.
Kita sering melihat kecenderungan membandingkan duka dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang kondisi unik setiap orang yang berduka.Â
Duka adalah perasaan yang sangat personal. Membandingkan duka seseorang dengan orang lain justru membuat mereka merasa lebih terpuruk karena beban emosional dan merasa perasaannya tidak dihargai. Ucapan seperti, "Kamu masih mending, si A lebih parah dari kamu." Mungkin dimaksudkan untuk memotivasi, tetapi sebenarnya tidak simpatik.
Di samping itu, ungkapan-ungkapan yang sering dianggap bijaksana karena tujuannya untuk menghibur, ternyata bisa terasa tidak nyaman bagi yang menerimanya.Â
Contohnya, ucapan seperti, "Nanti akan diganti dengan yang lebih baik." Terkadang bisa membuat orang yang berduka merasa tidak dihargai atau seolah orang yang meninggal kurang berharga sehingga bisa digantikan dengan yang lain. Dalam hal ini, Andreas menulis,
 Orang yang sudah meninggal tidak perlu digantikan. Dia akan menempati suatu tempat khusus di hati kita, selamanya. - hal 28.