Â
Kita mengarungi badai yang sama, pandemi Covid-19, namun kita dalam kondisi kapal yang berbeda-beda. Saat ini, seluruh umat muslim di dunia menjalani ibadah puasa, bulan ramdan tahun ini, masih dalam badai pandemi covid-19.Â
Kebiasaan dan tatanan aturan dalam beraktivitas mulai dibatasi, serta wajib menerapkan aturan tertentu. Seperti halnya menjaga jarak dan wajib mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas kontak dengan apapun, serta memakai masker saat berpergian kemanapun.
Pembatasan, salah satunya pelaksanaan ibadah sholat sunah terawih, saat sebelum pandemi bisa dilaksanakan bersama-sama di masjid. Kini pembatasan jumlah jamaah sholat di masjid di terapkan dengan aturan  50 persen dari kapasitas ruangan di masjd atau mushola, jika menambah tausiyah atau ceramah dibatasi maksimal 15 menit.
Semua pembatasan yang ditetapkan oleh pemerintah tertuang dalam Surat Edaran Nomor: SE. 03 Tahun 202l tentang Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri Tahun 1442 Hijriyah/2021, yang diterapkan di bulan ramadan.Â
Seharusnya pembatasan ini, tidak mengurangi kehidmatan umat muslim dalam menjalani ibadah puasa maupun solat terawih. Bulan ramadan sendiri yang identik sebagai bulan tarbiyah, menjadi momen umat muslim berintrospeksi diri, salah satunya mengurangi hawa nafsu dengan berhenti  makan dan minum dari pagi hingga petang atau bepuasa.
Namun, persoalan berhenti makan dan minum menjadi urusan pelik tersendiri, bagi keluarga prasejahtera. Berpuasa karena ibadah atau memang tidak ada yang bisa dimakan sejak sebelum bulan ramadan, melansir data dari Badan Pusat Statistika periode september 2020 bahwa 27,55 Juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin, presentase penduduk miskin sejumlah 10,19% dari total penduduk Indonesia.Â
Dampak dari pandemi Covid-19 menyebabkan multimasalah yang dihadapi menjadi rantai kekurangan yang tidak berkesudahan, salah satunya dari segi pendapatan.Â
Pendapatan harian, sebagai pemasukan utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seringkali hanya dalam memenuhi urusan pangan sudah habis digunakan, entah bagaimana untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Lebih parahnya, tanpa disadari, kondisi ini menimpa keluarga miskin, yang ada di sekitar kita.
![Ilustrasi ikan (Shutterstock Via.Kompas.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/14/image-2021-04-14-224440-60770de8d541df4ebb4e69a3.png?t=o&v=770)
Masa pandemi saat ini, untuk memberikan kailnya saja, apa masih terbilang relevan. Bahkan kelanjutan untuk mengolah ikan hingga siap untuk di santap saja, masih belum tau pasti, apa masih mampu mengolahnya. Ikan, yang biasa dianggap dengan agenda tahunan di bulan ramadan dengan buka bersama, kini sudah banyak ditiadakan.
Pandemi, jika masih terus berkutat pada pembatasan dan kekurangannya akan terus merasa berkekurangan. Namun, di luar rumah kita, masih ada yang hanya untuk makan saja, dengan harapan bisa buka bersama di masjid harus pupus di tengah jalan, entah apa yang mau dimakan. Memberi ikan, siap untuk di makan, bisa sangat relevan pada mereka yang memang masih kebingungan untuk memasaknya.Â
Jika indikasi mereka yang membutuhkan ikan, bisa distandarkan, untuk mereka yang mengais rongsokan, apalagi mereka yang mengemis sekalipun. Bukan hal yang salah, jika diberikan kail sekalipun, namun ada kelanjutan untuk memberi pancing dan mengajak atau bahkan mendampingi mereka memancing hingga mendapatkan ikan.
Barangkali salah satu yang membutuhkan ikan, ada dan tidak jauh dari rumah kita. Tetangga, seringkali mereka sengaja diam, malu, menyembunyikan atau bahkan menutupi kekurangannya supaya tidak merepotkan.
Saudara bukan sedarah atau keluarga, tapi mereka cepat tahu, lebih dulu dari keluarga dan sering kali juga di repotkan pertama, ketimbang keluarga yang memang kondisi rumahnya jauh dari kit, begitu tetangga seringkali diartikan. Bersilaturahmi ke tetangga tetap mematuhi protokol, bukan kesalahan atau dosa besar pula.
Akan lebih memilukan, apabila salah satu tetangga ada yang harus kelaparan, bahkan hingga merenggut nyawa akibat kelaparan, tahun lalu kisah ibu meninggal akibat kelaparan di kota serang menjadi viral di sosial media.Â
Pelajaran berharga tahun lalu, untuk tahun ini, mengingat kondisinya tetap sama dalam badai pandemi covid-19, namun setiap keluarga dalam kondisi kapal yang berbeda. Memang benar momen bulan ramadan, sebagai momentum kembali untuk bersilaturahmi sekadar untuk menyapa kondisi dan kabar juga perlu untuk dilakukan. Bukan hanya tahu kondisi mereka, mereka juga mengerti kondisi kita, untuk keadaan yang memungkinkan terjadi.
Perbedaan kondisi kapal yang sudah di sadari oleh setiap muslim, hingga menyadari memberikan bantuan yang tepat, bukan lagi meributkan, untuk memberikan pancing, atau kail bahkan masih menimbang-nimbang untuk berbagi ikan sekalipun.Â
Sudah sepantasnya keberkahan ramadan mampu di rasakan seluruh penumpang, bahkan layak menjadi contoh untuk penumpang kapal lain.Â
Keberkahan bulan ramadan, dengan perasaan damai yang menyelimuti, barangkali berkah doa, perjuangan mereka di sepertiga malam, mereka yang tertolong, sedang dan telah khusyuknya berdoa untuk keselamatan seluruh penumpang kapal, kapal apapun, agar selamat mengarungi badai. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI