Mohon tunggu...
Puspitasari Megahana
Puspitasari Megahana Mohon Tunggu... Guru - Guru SMKN 12 Jakarta

Guru Penggerak Angkatan 5 Jakarta Utara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya dengan Pendekatan Berbasis Aset dan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset

2 Juli 2024   19:47 Diperbarui: 2 Juli 2024   19:52 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep Modul 3.2: Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya dengan Pendekatan Berbasis Aset dan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset 

Pendekatan berbasis aset adalah suatu konsep dalam pengelolaan sumber daya yang menekankan pada identifikasi dan pemanfaatan aset yang dimiliki oleh komunitas untuk mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sering kali melihat komunitas dari sisi kekurangan atau masalah yang mereka hadapi, pendekatan berbasis aset justru fokus pada kekuatan, sumber daya, dan potensi yang ada dalam komunitas.

Salah satu pendekatan berbasis aset yang terkenal adalah Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (Asset-Based Community Development atau ABCD). ABCD adalah suatu kerangka kerja yang dikembangkan untuk memberdayakan komunitas dengan memanfaatkan aset-aset yang ada untuk menciptakan perubahan positif. Pendekatan ini dimulai dari asumsi bahwa setiap komunitas, betapapun kecil atau tertinggalnya, memiliki aset yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Aset dalam komunitas dapat beragam bentuknya. Salah satu aset yang paling jelas adalah aset fisik, seperti bangunan, lahan, dan infrastruktur. Misalnya, sebuah komunitas mungkin memiliki gedung sekolah yang tidak terpakai yang bisa diubah menjadi pusat kegiatan masyarakat. Atau mungkin ada lahan kosong yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian perkotaan atau taman komunitas. Dengan memanfaatkan aset-aset fisik ini, komunitas dapat menciptakan ruang yang produktif dan bermanfaat bagi anggotanya.

Selain aset fisik, ada juga aset manusia. Aset manusia meliputi keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki oleh individu dalam komunitas. Misalnya, mungkin ada anggota komunitas yang memiliki keterampilan dalam bertukang, memasak, atau berkebun. Dengan mengidentifikasi dan mengorganisir aset-aset manusia ini, komunitas dapat menyusun program pelatihan atau workshop yang mengajarkan keterampilan tersebut kepada anggota lain. Ini tidak hanya meningkatkan kemampuan individu, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan rasa kebersamaan dalam komunitas.

Aset lain yang tak kalah penting adalah aset sosial. Aset sosial meliputi jaringan, hubungan, dan kerjasama antara anggota komunitas. Ini bisa berupa kelompok-kelompok warga, organisasi masyarakat, atau jaringan informal seperti arisan atau gotong royong. Aset sosial ini merupakan fondasi yang kuat untuk membangun solidaritas dan dukungan timbal balik dalam komunitas. Dengan memanfaatkan jaringan dan hubungan yang ada, komunitas dapat mengorganisir kegiatan bersama, seperti acara penggalangan dana, festival budaya, atau program kebersihan lingkungan. Ini tidak hanya meningkatkan kualitas hidup tetapi juga memperkuat ikatan antar anggota komunitas.

Pendekatan berbasis aset juga mencakup aset institusional, yaitu organisasi dan lembaga yang ada dalam komunitas, seperti sekolah, rumah sakit, gereja, atau lembaga pemerintah lokal. Institusi-institusi ini sering kali memiliki sumber daya dan kapasitas yang dapat mendukung pembangunan komunitas. Misalnya, sebuah sekolah bisa menyediakan fasilitas untuk kegiatan ekstrakurikuler atau pelatihan bagi masyarakat. Rumah sakit bisa mengadakan program kesehatan gratis atau penyuluhan tentang pentingnya gaya hidup sehat. Dengan menggandeng institusi-institusi ini, komunitas dapat mengakses sumber daya tambahan yang memperkuat inisiatif pembangunan mereka.

Yang tidak kalah penting adalah aset budaya dan sejarah. Setiap komunitas memiliki warisan budaya dan sejarah yang unik yang bisa dijadikan aset untuk pembangunan. Ini bisa berupa tradisi, seni, cerita rakyat, atau situs bersejarah. Dengan mengangkat dan merayakan warisan budaya ini, komunitas dapat membangun identitas yang kuat dan rasa kebanggaan bersama. Misalnya, sebuah komunitas bisa mengadakan festival budaya tahunan yang menampilkan tarian, musik, dan makanan tradisional. Ini tidak hanya memperkuat identitas komunitas tetapi juga menarik pengunjung dari luar, yang bisa memberikan manfaat ekonomi.

Penting untuk dicatat bahwa pendekatan berbasis aset tidak berarti mengabaikan masalah atau tantangan yang dihadapi oleh komunitas. Sebaliknya, pendekatan ini mengajarkan untuk melihat masalah sebagai peluang untuk menggunakan aset yang ada guna mencari solusi. Misalnya, jika sebuah komunitas menghadapi masalah kebersihan lingkungan, mereka bisa memanfaatkan aset manusia (relawan) dan aset sosial (jaringan kerjasama) untuk mengorganisir program kebersihan. Atau jika ada masalah pengangguran, komunitas bisa memanfaatkan aset institusional (sekolah atau pusat pelatihan) untuk menyelenggarakan kursus keterampilan yang relevan.

Implementasi pendekatan berbasis aset memerlukan partisipasi aktif dari seluruh anggota komunitas. Proses ini biasanya dimulai dengan pemetaan aset, yaitu mengidentifikasi dan mendokumentasikan aset-aset yang ada dalam komunitas. Ini bisa dilakukan melalui survei, wawancara, atau diskusi kelompok. Hasil pemetaan aset kemudian digunakan untuk merancang rencana tindakan yang memanfaatkan aset-aset tersebut untuk mencapai tujuan pembangunan yang disepakati bersama.

Contoh nyata dari pendekatan berbasis aset dapat ditemukan di berbagai tempat di dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, ada banyak kota kecil yang berhasil menghidupkan kembali ekonominya dengan memanfaatkan aset-aset lokal seperti seni dan budaya. Kota-kota ini mengorganisir festival seni, membuka galeri seni lokal, dan mendukung pengrajin lokal, yang tidak hanya meningkatkan ekonomi lokal tetapi juga memperkuat identitas komunitas.

Di Indonesia, ada banyak contoh pengembangan komunitas berbasis aset di pedesaan. Misalnya, di beberapa desa di Jawa Tengah, warga memanfaatkan aset lahan pertanian dan pengetahuan bertani untuk mengembangkan pertanian organik. Mereka membentuk kelompok tani, mengadakan pelatihan pertanian organik, dan memasarkan produk mereka secara kolektif. Hasilnya, tidak hanya meningkatkan pendapatan petani tetapi juga menciptakan komunitas yang lebih sehat dan mandiri.

Pendekatan berbasis aset juga relevan dalam konteks perkotaan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, ada banyak inisiatif komunitas yang memanfaatkan aset lokal untuk menciptakan ruang hijau, mengorganisir kegiatan seni, atau mengembangkan usaha mikro. Misalnya, di beberapa kampung kota, warga memanfaatkan lahan kosong untuk menanam sayuran dan tanaman hias, menciptakan taman komunitas yang tidak hanya memperindah lingkungan tetapi juga menyediakan sumber pangan lokal.

Secara keseluruhan, pendekatan berbasis aset menawarkan perspektif yang positif dan memberdayakan dalam pengelolaan sumber daya komunitas. Dengan fokus pada apa yang dimiliki daripada apa yang kurang, pendekatan ini mendorong komunitas untuk mengambil inisiatif dan bertindak bersama untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ini bukan hanya tentang memperbaiki kondisi fisik atau ekonomi, tetapi juga tentang membangun komunitas yang lebih kuat, lebih mandiri, dan lebih harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun