Ketika putri pertama Krisdayanti mengikuti program 'say no to KD' di facebook, apa yang Anda bayangkan? Apakah KD tak memikirkan ekses dari ulahnya?
Merintis perjalanan menuju keterkenalan memang tidak mudah dan murah. Namun menduduki tahta 'area publik' juga tidak mudah. Apalagi mempertahankan kursi empuk itu, lebih murah memberi uang lelah.
Hal yang sering lali dipersiapkan ketika seseorang memasuki area-publik adalah ketidaksiapan mental-emosional. Terutama ketika terantuk batu cadas dan hempasan angin ribut. Apalagi tidak memiliki akar tunjang.
Yaitu ketika tahapan merangkak itu melompat-lompat. Karena setiap tangga memiliki onak-duri. Ketika ia mampu melewati ganguan yang menerpanya, mental kesiapan selanjutnya menggumpal, membentuk benteng kokoh.
Namun bila ia terengah ketika merasakan onak-duri pada tangga sebelumnya, dan mencoba melompatinya, maka tangga selanjutnya bukan lagi mudah dan murah. Dan kelelahan yang menjelajah justru mewabahkan keterengahan.
Dan wabah keterengah itu kini sedang merajah-rajah wajah diva pop, KD. Hal ini tampak pada ulahnya, yang berciuman dengan lelaki di depan publik. Dan dengan lelaki yang masih menjadi suami sah wanita lain.
Ketika orang-publik berulah di area-publik, maka publik berhak berkomentar. Berlainan bila mereka bertingkah di ruang privat, maka publik tak berhak menghakimi.
Minimal Titania Aurelia mewakili publik, yang melihat orang-publik sedang berulah di area-publik. Meski ia anak orang-publik itusendiri, namun garis penentangan publikatif orang tuanya itulah yang sangat menghujat kekanakannya.
Benarlah akhirnya, ulah orang-publik itu realisasi latensitas kemanusiaan. Minimal ketika ia merasa dijauhi, bahkan anak kandungnya sendiri, mak ia pun berulah.
Tingkah seorang ibu di depan putrinya yang sedang beranjak remaja itu, meinimal menyiratkan sikap kekanakan seorang KD. Pola menyimpang itu ujud dari mencari perhatian, bahkan kepada darah dagingnya sendiri, yang justru menjauhinya.
Namun, apakah KD tidak memahami, bahwa anak pertamanya itu sedang mencari jati diri. Dan kelablan emosional remaja putri lebih rentan, atas desakan kepenyimpangan selanjutnya. Apalagi memori seorang anak akan terekam bahkan sampai menutup mata.
Seringkali orang tua tidak memikirkan ekses dari perilaku kesehariannya, terhadap pola peniruan anak-anaknya. Apalagi anak yang sedang mencari model perilakunya. Minimal pola penyimpangan yang dilakukan 'rule-model'-nya itu akan terus menerus mendera batinnya.
Kejumawaan orang tua yang tidak terbersit, bahwa polah menyimpang itu akan bertahan bertahun dn bahkan mengcengkeram benak anak-anaknya, tak jarang menjadi pembenar, ketika anak itu bertingkah menyimpang.
Akhirnya, orang tua harus mencoba menata diri dalam berulah kesehariannya, terrutama di depan anak-anaknya. Karena ulahnya tu akan menjadi teladan. Apalagi keteladanan lebih mudah menyerep di benak anak-anak, ketimbang seribu petuah.
Dan tak perlu jengah bila orang tua yang gemar menimpang akan melahirkan anak-anak yang menyimpang pula. Sehingga ketika orang tua berulah, anak pun terengah. Minimal malu mendapat konfirmasi sesama anak-anak.
Dus, jangan bertingkah yang menyimpang para ortu, agar anak-anak tak meniru pola penyimpangan itu. Sehingga generasi muda melangkah gagah, bukannya terengah di tengah sawah hidup dan kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H