Aku pernah menjatuhkan hati, jatuh sejatuh-jatuhnya dengan seseorang yang hanya sebatas teman. Namun, rasa itu hanya bisa kupendam tanpa terucap.
Aku tidak tahu, apakah dia juga memiliki rasa yang sama atau tidak. Dia memang baik dan peduli denganku. Namun, aku tidak bisa menerka-nerka hati dia hanya dari sikapnya, karena bisa saja dia baik terhadap semua orang.
Semakin hari pertemanan kami semakin erat. Rasa yang hadir di dalam hati ini pun semakin membuncah, tetapi masih saja mulutku membungkam. Aku seperti orang bodoh ketika harus membisu dan memendam perasaan itu.
Bulan berganti tahun. Masih dengan perasaan yang sama, aku memutuskan untuk menjauh darinya. Aku tersadar, bahwa apa yang kami lakukan tidak seharusnya dilakukan. Aku tidak ingin rasa dalam hati ini membawa kepada kemaksiatan. Sebab, pada hakikatnya tidak ada pertemanan akrab antara laki-laki dan perempuan, karena ujian terberat keduanya adalah perasaan.
Tahun berganti tahun. Masih dengan hati yang sama, tetapi sudah lama tidak ada percakapan lagi di antara kami. Hingga akhirnya, ada sebuah kejutan darinya untukku. Sebuah kabar darinya yang membuat hatiku bergetar saat pemberitahuan pesan darinya muncul di layar kunci benda pipih hitam milikku.
Hatiku berdetak hebat, tetapi tidak kencang layaknya saling berkejaran ketika membaca pesan darinya. Akhirnya, ada sebuah rasa yang akan berlabuh dalam ikatan suci pernikahan. Bersyukur. Antara senang, sedih, dan terharu membacanya.
Hatiku semakin berdetak kuat ketika selesai membacanya. Aku pun tidak kuasa menahan butiran air yang jatuh ke pipi. Perlahan kusapu kembali, tetapi tetap saja tidak mampu kubendung air mata ini. Kuseka kembali sambil menatap layar benda pipih tersebut. Apakah aku salah membaca? Tidak, itu benar.
Setelah bertahun memendam perasaan, sampai akhirnya kuputuskan pertemanan, kini Allah memberi jawaban darinya langsung dalam sebuah pernikahan. Namun, sosok itu bukan aku. Bukan. Melainkan seseorang yang menurut Allah lebih pantas untuk bersanding dengannya. Seseorang yang sudah menjadi takdir Allah untuknya. Seseorang yang lebih mampu memikat hatinya dibanding diri ini. Seseorang yang lebih menjadi prioritasnya dibanding pertemanannya denganku. Seseorang yang sudah pasti jauh lebih baik dariku untuknya di mata Allah.
Kuseka kembali air mata di pipi. Mungkin sejak awal pertemanan, cinta ini memang bertepuk sebelah tangan. Namun, aku mencoba untuk berbesar hati menerima sebuah kenyataan pahit ini. Jariku mencoba mengetik huruf demi huruf sebagai ucapan selamat. Tidak lupa aku ucapkan doa yang tulus untuk mereka agar diberi keberkahan dalam pernikahannya.
Cinta tidak harus memiliki, jika seseorang yang kita cintai lebih bahagia bersama yang lain, maka merelakan dia pergi adalah jalan yang terbaik untukku saat ini.