Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira---Wahai Pemeliharaku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat aku di waktu kecil.
                              ***
        "Na, ayo pulang! Sudah asar. Salat dulu! ujar ayah."
        "Aku masih mau main, Pak! balasku sambil memelas.
        "Ingat, pahala salat asar besar, Nak! Rayu ayah."
        Mendengar pahala yang diiming-imingi ayah, aku langsung bergegas menggandeng tangannya untuk segera pulang.
                              ***
        "Pak, Bapak tidak salat Jumat?" tanyaku.
        "Nanti saja! Nanti Bapak salat zuhur sebentar lagi," balas ayahku dengan santai sambil terus membaca bukunya.
        Entah apa yang dipikirkan oleh ayahku. Perihal salat Jumat beliau agak masa bodo. Padahal, aku melihat beliau setiap qobla magrib selalu ke masjid untuk mengimami jamaah musala kampung kami. Pernah kami berdiskusi masalah in, tetapi ayah selalu bersikeras dengan pendapatnya. Sebagai anak yang saat itu baru pula belajar agama, argumen ayah terlalu kuat untuk dipatahkan.
                               ***
        Ayah terbaring lemas di atas tempat tidur. Aku melihat matanya sayu. Entah apa yang harus aku lakukan. Rasanya aku tak kuasa untuk sekadar membelai lembut kepalanya. Aku hanya terpaku berdiri di sampingnya dengan berusaha membaca apa yang ingin diungkapkan ayah. Seolah-olah ayah ingin berkata bahwa beliau ingin meminta maaf, meminta maaf karena belum maksimal memberi kebaikan dan belum menjadi teladan yang baik untuk keempat anak dari almarhumah istri pertamanya.
        Tiba-tiba aku tersentak dengan adanya piring yang berisi bunga dan air yang ada di bawah kolong ranjang ayah. Aku keluar dari kamar ayah dan mencari ibu di dapur.
        "Bu, piring apa yang ada di bawah ranjang Bapak?" tanyaku.
        "Oh, itu piring agar Bapak lekas sembuh," jawab ibu sambungku ragu-ragu.
        Aku kembali ke kamar ayah. Aku mengambil piring itu dan langsung menaruhnya di tempat cucian piring. Ibuku hanya diam tanpa perlawanan.
                                ***
        Aku mendengar suamiku menelepon temannya yang seorang pengusaha hewan qur'ban. Sudah menjadi kewajiban keluarga kami berqurban setiap tahunnya. Kami selalu mengusahakan berqurban walaupun uang kami pas-pasan. Tiba-tiba di tengah pembicaraannya, suamiku bertanya kepadaku.
        "De, kita jadi qurban sapi? tanya suamiku.
        "Iya, ay, niatkan buat Bapak yang sedang sakit di kampung!" jawabku.
        Selepas suamiku menelepon, tiba-tiba teleponku berdering. Kulihat nama A Wisnu di layar telepon genggamku.
        "Assalamualaikum," suara kakakku terdengar parau.
        "Waalaikumussalam, iya, a, ada apa?" jawabku.
        "Na, Bapak sudah tiada. Baru saja beliau meninggal," kata kakakku lagi.
        Aku hanya terdiam sambil menutup telepon dari kakakku. Lalu, aku berkata kepada suamiku. "Ay, kita pulang sekarang. Bapak meninggal!"
                                 ***
        Innalillahi wa innailaihi raajiuun allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira---Wahai Pemeliharaku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat aku di waktu kecil.
                                 ***
      Ada tiga amalan yang tidak akan terputus, yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh. Aku terdiam dalam sepi. Pak, Nana menyesal tidak ada di samping Bapak pada saat terakhir. Pak, Nana berjanji akan selalu mendoakan Bapak karena doa Nana adalah amalan yang tidak akan putus untuk Bapak. Pak, Nana sayang Bapak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H