Ayah terbaring lemas di atas tempat tidur. Aku melihat matanya sayu. Entah apa yang harus aku lakukan. Rasanya aku tak kuasa untuk sekadar membelai lembut kepalanya. Aku hanya terpaku berdiri di sampingnya dengan berusaha membaca apa yang ingin diungkapkan ayah. Seolah-olah ayah ingin berkata bahwa beliau ingin meminta maaf, meminta maaf karena belum maksimal memberi kebaikan dan belum menjadi teladan yang baik untuk keempat anak dari almarhumah istri pertamanya.
        Tiba-tiba aku tersentak dengan adanya piring yang berisi bunga dan air yang ada di bawah kolong ranjang ayah. Aku keluar dari kamar ayah dan mencari ibu di dapur.
        "Bu, piring apa yang ada di bawah ranjang Bapak?" tanyaku.
        "Oh, itu piring agar Bapak lekas sembuh," jawab ibu sambungku ragu-ragu.
        Aku kembali ke kamar ayah. Aku mengambil piring itu dan langsung menaruhnya di tempat cucian piring. Ibuku hanya diam tanpa perlawanan.
                                ***
        Aku mendengar suamiku menelepon temannya yang seorang pengusaha hewan qur'ban. Sudah menjadi kewajiban keluarga kami berqurban setiap tahunnya. Kami selalu mengusahakan berqurban walaupun uang kami pas-pasan. Tiba-tiba di tengah pembicaraannya, suamiku bertanya kepadaku.
        "De, kita jadi qurban sapi? tanya suamiku.
        "Iya, ay, niatkan buat Bapak yang sedang sakit di kampung!" jawabku.
        Selepas suamiku menelepon, tiba-tiba teleponku berdering. Kulihat nama A Wisnu di layar telepon genggamku.
        "Assalamualaikum," suara kakakku terdengar parau.