Hidupnya rasa duka ini, kerap membuat saya mati. Banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Dari fisik, perilaku, hingga emosional. Yang sangat jelas, semua seperti berantakan. Dunia seperti tidak berpihak kepada diri saya. Setidaknya seperti itu narasi yang ramah terdengar dari orang yang berduka.
Lalu, bagaimana tahapan kesedihan atau stages of grief menurut Psikiater Elisabeth Kubler-Ross?
Mengutip dari Choosing Therapy yang membahas tentang "The Five Stages of Grief: Definition & Examples", tahapan kesedihan itu terdiri dari; denial, anger, bargaining, depression, dan acceptance.
Dari kelima tahapan di atas, saya akan membahas tahap denial atau penyangkalan, yang mana ini sedang saya hadapi dan perlahan coba pahami.
Bagaimana saya tahu bahwa saya sedang denial atas kepergian orang-orang terkasih saya? Ini saya sadari ketika suatu waktu saya deep talk dengan seseorang, yang pada intinya, saya masih berat untuk berjalan, berkunjung ke rumah keabadian ibu dan kakak laki-laki saya. Padahal saya rindu.
Dan kalau dipikir-pikir, saya memang denial, karena setiap saya melihat tumpukan tanah itu, yang terbesit dalam kepala saya adalah, "bagaimana mungkin ada orang yang bisa bertahan di dalam tanah?" Dan jawabannya "tidak mungkin ada". Jadi, ya, mereka, baik ibu ataupun kakak saya tidak mungkin ada di dalam tanah.
Dan puncaknya adalah kerinduan. Dengan pikiran denial yang menyelimuti saya, kemana saya bisa menebus rindu? Semua semakin menjadi abu-abu dan menjadikan saya hilang arah, tidak bertujuan.
Dan kemudian, denial dan kerinduan bertengkar hebat di kepala saya. Membuat saya hilang kendali dari diri saya sendiri. Saya disetir lelap, dan abai dengan tanggung jawab.
Bagaimana saya belajar untuk mereda pertengkaran denial dan rindu tersebut?
Dari seseorang yang kala itu berbincang dengan saya, membuat saya tertegun. Tidak ada penghakiman, tidak ada perintah, yang disampaikan cukup manis untuk dilekat dalam ingatan.
"Anggap aja, ini seperti kamu sedang mau berpergian ke suatu tempat. Sebelum berangkat, pasti kamu akan mempersiapkan barang-barang bawaan, menyiapkan baju yang hendak dikenakan, mandi dengan wewangian, atau bercermin merapikan. Nah, mungkin sekarang belum, kamu belum mengunjungi ibu dan kakak, tapi kamu seperti lagi siap-siap untuk ke sana. Mau ke sananya besok, seminggu, sebulan kemudian, atau kapanpun itu gak apa-apa, karena kamu masih bersiap-siap untuk ke sana." Begitu kurang lebih tuturnya yang terekam di kepala saya.
Tuturnya yang tenang, cukup mereda pertengkaran-pertengkaran di kepala saya. Walaupun belum bisa juga sepenuhnya saya lepas dari denial dan kerinduan. Tapi setidaknya saya punya acuan; saya sedang bersiap-siap.