Mohon tunggu...
Puspa Agustin
Puspa Agustin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis - Sastra Indonesia

Seseorang yang memiliki ketertarikan pada bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Rayuan Perempuan Gila

1 Juli 2023   11:34 Diperbarui: 2 Juli 2023   12:34 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: perempuan penggoda. (Sumber gambar: pinterest/@BeautifulBizarreMagazine)

Sudah seminggu Gayatri Rumi duduk membatu di bale tua yang terentang di teras rumahnya. Tanpa kerabat, tanpa kawan, tanpa kekasih. Hanya ada dia dengan abu sigaret putih yang mengotori prairie dress hitam bercorak kepala rusa yang sedang ia kenakan, serta dengan sisa sepotong sigaret yang masih diapit di antara dua jarinya.

Tujuh hari itu berhasil membuat siapapun yang berlalu lalang di halaman rumahnya merasa kebingungan dan bergidik ngeri melihat Gayatri yang tampak berbeda jauh dari ia yang dahulu.

Konon ada yang menyebut bahwa Gayatri gila karena jabang bayi hasil hubungan gelap dengan sang kekasih hilang begitu saja di bulan ke tujuh. Perutnya mengempis bagai tak pernah terisi nyawa orok di dalamnya.

Di bibir penduduk yang lain menyebutkan kalau Gayatri sedang bersembahyang, memohon kepada Dewa dan roh leluhur dengan cara yang berbeda sebagai bentuk amarah sekaligus meminta kembali kekasihnya yang pergi mencampakkan dirinya.

Namun, semua itu hanyalah asumsi-asumsi mereka yang melihatnya dari kejauhan. Mereka yang bahkan tidak pernah saling sapa dengan Gayatri di sepanjang hidupnya dengan dalih, "Gayatri adalah yang terkutuk, nanti kami tertimpa malapetaka".

Di hari itu, ketika matahari mulai sedikit tenggelam, dan bertiup angin sejuk yang menembus rongga pori-pori kulit manusia, tampak bayangan yang berjalan mendekat ke arah Gayatri. Bayangan yang ketika semakin dekat, menjelma menjadi sesosok lelaki berkulit hitam dengan lubang hidung yang besar.

"Terlalu banyak, Nona. Jika tidak terlalu pandai, mungkin sigaret-sigaret itu bisa membakarmu."

Gayatri tidak menghiraukan ucapan lelaki asing yang menghampirinya itu. Ia hanya melirik tiga detik, kemudian kembali menatap ke jalan yang kosong di depan halaman rumahnya.

"Menunggu adalah kesia-siaan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari itu."

"Tahu apa kamu perihal menunggu? Jika ingin bergurau, pergilah ke taman di ujung telaga, di sana banyak gadis yang siap mendengarkan bualanmu. Jangan ganggu aku." Ujar Gayatri yang datar dan malas menanggapi.

"Baiklah, Nona." Sahutnya yang kemudian memalingkan badan, berjalan ke arah luar halaman rumah Gayatri. Namun sebelum semakin menjauh, ia kembali menoleh dan berucap, "Abimana, itu namaku," yang kemudian kembali melanjutkan langkahnya menjauh pergi.

"Bermalam'lah." Ujar Gayatri pelan namun mampu menghentikan langkah Abimana.

"Sebenarnya aku sedang mencari orang. Barangkali kau mengenalnya." Tutur Abimana yang kembali mendekat, lalu menunjukkan potret sepasang kekasih pada kertas foto yang sudah lusuh. Dan telunjuknya mengacu ke gambar seorang gadis yang berada di dalamnya.

"Bermalam'lah." Ucap Gayatri sekali lagi dengan nada yang cukup manis.

Abimana mengangguk.

Dan akhirnya, setelah tujuh hari membatu, kini Gayatri bangun dari duduknya. Ia menggandeng Abimana masuk ke dalam rumahnya bersama dengan sigaret yang tidak kian habis juga.

Gayatri tidak melontarkan sepatah kata pun, begitu juga dengan Abimana. Mereka hanya saling tatap dan tenggelam di atas ranjang yang tak tersentuh selama tujuh hari itu. Tubuh mereka saling memakan dan mengapit satu sama lain. Mereka terlihat seperti orang yang kelaparan. Bahkan entah bagaimana cara mereka melepaskan balutan kain dari masing-masing tubuh mereka, namun kini mereka hanya menjadikan tubuh satu sama lain sebagai penghangat di antaranya.

Keesokan harinya ketika menjelang fajar, waktu yang umumnya digunakan para penduduk Desa Karitha pergi ke pasar untuk berbelanja bahan pangan, terlihat Abimana yang bergegas lari memburu Gayatri yang terbirit-birit berjalan cepat ke arah Bukit Dayie.

Hal tersebut lagi-lagi membuat penduduk yang melihatnya kebingungan dengan tingkah Gayatri, sebab ia berlari dengan perut yang besar layaknya wanita berbadan dua. Alih-alih melanjutkan perjalanan ke pasar, para penduduk malah ikut beramai-ramai berlarian ke arah bukit.

Setibanya mereka di Bukit Dayie, angin sejuk yang serupa dirasakan Gayatri pada kemarin petang, kini terasa kembali. Kesejukannya terasa menusuk kulit hingga hawa dinginnya pun merambat ke tulang-tulang mereka.

Di sana, di atas Bukit Dayie, Gayatri berbicara dengan suara yang agak keras melawan suara angin, "Wahai saudara laki-lakiku, Abimana, mengapa kamu begitu bodoh dan mudah terpedaya? Tubuhku yang kau cumbui semalaman itu adalah tubuh yang berasal dari rahim ibumu. Seorang pelacur termasyhur yang setelah ia melahirkanku lalu membuangku, hingga kini semua mengenaliku sebagai Gayatri gadis terkutuk. Ya, dia adalah yang kau cari dalam lembar foto lusuh itu. Dan jika kau mencari dia demi untuk menidurinya, sungguh kau lelaki bodoh. Tak jauh berbeda dengan puluhan lelaki yang mengunjungiku hanya untuk menemui pelacur sialan itu. Apakah tubuh wanita memang begitu elok di mata hidung belang? Tidak bisakah kita saling mengenali? Atau mungkin manusia adalah sebenar-benarnya makhluk gila? Sudahlah, sampai bertemu di kehidupan yang baru. Jangan setubuhi aku lagi, aku tak sudi melahirkan bibit jalang".

Seusai Gayatri menyelesaikan ucapannya, ia terjun dari bukit itu. Dalam sekejap ia hilang bagai dimakan angin, tidak jatuh dan tidak pula terlihat tubuh atau bayangannya. Tak lama setelahnya, Abimana menyusul, ia ikut terjun dari bukit Dayie. Dan hal yang sama juga terjadi padanya. Mereka lenyap bagai kapas yang terbang di udara.

Semenjak peristiwa pagi itu, orang-orang lebih mengenal Bukit Dayie sebagai Bukit Rumi. Kata 'Rumi' yang diambil dari nama belakang Gayatri Rumi, yang mereka artikan sebagai daya tarik yang terkutuk. Dan bagi siapa saja yang ditemukan mengadakan sumbang pati, maka akan diarak penduduk setempat untuk dilemparkan raganya ke Bukit Rumi ini. Konon hal tersebut mereka percayai sebagai cara menolak limpahan malapetaka di Desa Karitha, serta untuk menghindari kehidupan Gayatri dan Abimana yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun