Sudah seminggu Gayatri Rumi duduk membatu di bale tua yang terentang di teras rumahnya. Tanpa kerabat, tanpa kawan, tanpa kekasih. Hanya ada dia dengan abu sigaret putih yang mengotori prairie dress hitam bercorak kepala rusa yang sedang ia kenakan, serta dengan sisa sepotong sigaret yang masih diapit di antara dua jarinya.
Tujuh hari itu berhasil membuat siapapun yang berlalu lalang di halaman rumahnya merasa kebingungan dan bergidik ngeri melihat Gayatri yang tampak berbeda jauh dari ia yang dahulu.
Konon ada yang menyebut bahwa Gayatri gila karena jabang bayi hasil hubungan gelap dengan sang kekasih hilang begitu saja di bulan ke tujuh. Perutnya mengempis bagai tak pernah terisi nyawa orok di dalamnya.
Di bibir penduduk yang lain menyebutkan kalau Gayatri sedang bersembahyang, memohon kepada Dewa dan roh leluhur dengan cara yang berbeda sebagai bentuk amarah sekaligus meminta kembali kekasihnya yang pergi mencampakkan dirinya.
Namun, semua itu hanyalah asumsi-asumsi mereka yang melihatnya dari kejauhan. Mereka yang bahkan tidak pernah saling sapa dengan Gayatri di sepanjang hidupnya dengan dalih, "Gayatri adalah yang terkutuk, nanti kami tertimpa malapetaka".
Di hari itu, ketika matahari mulai sedikit tenggelam, dan bertiup angin sejuk yang menembus rongga pori-pori kulit manusia, tampak bayangan yang berjalan mendekat ke arah Gayatri. Bayangan yang ketika semakin dekat, menjelma menjadi sesosok lelaki berkulit hitam dengan lubang hidung yang besar.
"Terlalu banyak, Nona. Jika tidak terlalu pandai, mungkin sigaret-sigaret itu bisa membakarmu."
Gayatri tidak menghiraukan ucapan lelaki asing yang menghampirinya itu. Ia hanya melirik tiga detik, kemudian kembali menatap ke jalan yang kosong di depan halaman rumahnya.
"Menunggu adalah kesia-siaan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dari itu."
"Tahu apa kamu perihal menunggu? Jika ingin bergurau, pergilah ke taman di ujung telaga, di sana banyak gadis yang siap mendengarkan bualanmu. Jangan ganggu aku." Ujar Gayatri yang datar dan malas menanggapi.