RKUHP baru tentang pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara juga ada. Upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan dan membahas kembali tentang pasal ini menjadi isu yang patut diperdebatkan untuk diulas lebih mendalam. Sebenarnya apa tujuan pemerintah menghidupkan pasal tersebut? dan apakah dengan disahkan pasal tersebut akan muncul semangat demokrasi ataukah justru kolonialisme?.
Saat ini tengah ramai isu yang sangat kontroversial tentang dihidupkan kembali pasal terhadap penghinaan presiden/wakil presiden, tidak hanya presiden/wakil presiden saja, namun dalamSeperti yang kita tahu kitab undang-undang hukum pidana atau KUHP yang diterapkan oleh bangsa Indonesia sekarang merupakan warisan yang berasal dari Kolonial Belanda. Belanda memiliki sistem pemerintahan yang berbeda yaitu sistem kerajaan dimana raja dan ratu merepresntasikan martabat negara dan menjadi bagian pemerintahan negara belanda itu sendiri. Namun raja dan ratu tidak memiliki kekuasaan politik atau tidak mengatur jalannya pemerintahan. sedangkan di indonesia sendiri yaitu sistem presidensial dimana kepala negara sebagai kepala pemerintahan yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan bukan sebagai simbol negara, karena simbol negara sendiri telah diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36 B UUD NRI 1945 berisi tentang lambang-lambang negara dan sebagaimana diatur juga dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara (Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika) serta Lagu Kebangsaan. Menurut Jimly Asshidiqie presiden merupakan insitusi, bukan entitas yang memiliki hati dan perasaan. Lalu apabila terjadi penghinaan terhadap presiden itu sendiri, kapasitasnya adalah sebagai pribadi, bukan sebagai insitusi presiden. Pemerintah yang melayani masyarakat (public service) harus bersedia dihina karena merupakan resiko dia sebagai figur atau pemimpin. Berbeda halnya dengan fitnah, ujaran kebencian dan penghasutan. Maka dari itu RKUHP tersebut tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia karena merupakan peninggalan kolonial belanda yang sudah berusia 90 tahun dan diterapkan untuk penghinaan raja dan ratu belanda.
Selain persoalan diatas, persoalan mendasar terkait dengan RKUHP pasal tentang penghinaan yaitu pertama implementasi dari RKUHP ini. Penerapan pasal penghinaan terhadap kekuasaan Pasal 207 KUHP mk memutuskan pasal tersebut merupakan delik aduan pada Putusan Mahkamah Konsitusi No. 14/PUU-VI/2008. Tetapi, putusan Mahkamah Konsitusi tersebut sering kali diabaikan oleh aparat penegak hukum, maka dapat menjadi indikator dari pembangkangan konsitusi contohnya pada kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1274/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Sel. Kedua RKUHP tidak memenuhi asas legalitas prinsip lex certa (rumusan ketentuan pidana harus jelas) kepastian dan kejelasan hukum sangat bias dalam RKUHP ini. Selain itu semestinya hukum dibuat untuk membatasi negara tetapi hukum dibuat untuk membatasi masyarakat. Bahkan draft RKUHP sampai saat ini belum bisa diperoleh publik. Selanjutnya prinsip lex stricta (ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan dilarang menggunakan analogi) RKUHP ini terdapat kerancuan mengenai maksud dari penghinaan itu sendiri artinya subjektif. Seringkali kritik juga dapat disalah artikan atau menyamakannya dengan penghinaan yang akan membuka peluang terjadinya pembungkaman terhadap suatu kritik atau pendapat masyarakat yang ditujukan pada pemerintah dan digunakan sebagai alat kriminalisasi dengan dalih penghinaan. Apalagi jika aduan pada penegak hukum adalah presiden atau orang penting yang memiliki jabatan apakah aduannya akan ditolak?. Hingga kini benang kusut antara kritik dan menghina masih memerlukan kajian mendalam. Menurut pengamat hukum dari Universitas Al-azhar Indonesia Suparji Ahmad pemahaman filosofis, yuridis dan sosiologis terhadap apa itu penghinaan, hate speech dan kritik itu sangat diperlukan.
Berikut RKUHP pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (sumber: www.pikiran-rakyat.com dan www.kemenkumham.go.id ):
- Pasal 218 Ayat (1) "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV". Ayat (2) "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri" RKUHP ini bersifat delik aduan dengan ancaman hukuman maksimal 3,5 tahun penjara
- Pasal 219 "Setiap orang yang menyiarkan atau mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden dan wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum/dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun enam bualan atau pidana denda"
- Pasal 240 "Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat maka dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak sesuai kategori IV".
- Pasal 241 "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V"
- Pasal 353 ayat (1)”Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Tidak ada hak istimewa yang diberikan pada penguasa negara atau presiden yang nanti akan menimbulkan diskriminatif dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Negara tanpa kritik akan tidak terkontrol dan menjadi kekuasaan absolut atau bukan negara demokrasi.
Perhatian ini hanya pendapat saya mengenai RKUHP pasal penghinaan kekuasaan, mohon dibenarkan jika ada kesalahan atau data yang salah mengenai artikel ini terimakasih semoga bermanfaat!
Refrensi:
Ajie Ramdan, Fakultas Hukum, and Universitas Padjadjaran, ‘Kontroversi Delik Penghinaan Presiden / Wakil Presiden Dalam Rkuhp Controversy Over the Offense of Insulting the President / Vice President in Draft of Criminal Code’, 13.2 (2020), 245–66
Anggraeniko, L. S. (2020). BIAS PENERAPAN DELIK ADUAN DALAM PASAL 207 KUHP TENTANG PENGHINAAN TERHADAP PENGUASA (Studi Kasus Putusan No.1274/Pid.Sus/2017/Pn.Jkt.Sel) . Jurnal Kajian Hukum Islam, 123-134.
ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI, Pidana Penghinaan adalah Pembatasan Kemerdekaaan Berpendapat yang Inkonstitusional, Brefing Paper No.2, 2010.
Hofweg, Politics in the Netherlands, ProDemos, 2013, The Hague. h.13.
Nuzul Shinta Nur Rahmasari, H. S. (2022). PENGHIDUPAN KEMBALI PASAL TERHADAP PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Mimbar Keadilan, 27-49.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.1274/Pid.Sus/2017/PN.Jk t.Se
Zaqiu Rahman, ‘Wacana Pasal Penghinaan Presiden Atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP’, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, 3 (2015), 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H