Mohon tunggu...
PUSAKA
PUSAKA Mohon Tunggu... -

Pusat Pembinaan Analis Kebijakan (PUSAKA) merupakan salah satu unit di bawah Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan, LAN RI yang bertugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK), penyusunan dan pengembangan sistem informasi analis kebijakan, serta pemberian bantuan dan teknis administratif kepada pusat dan kelompok jabatan fungsional di lingkungannya. PUSAKA terus berupaya memperkuat eksistensinya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang pembinaan Analis Kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Blockchain: Harta Karun di Balik Kepingan Uang Virtual

4 April 2018   11:45 Diperbarui: 4 April 2018   12:08 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia kita baru saja diguncang oleh fenomena uang virtual bernama uang virtual, salah satu merknya yang terkenal ialah Bitcoin. Bitcoin tidak memiliki beda dengan mekanisme transfer uang ala digital yang selama ini kita kenal. Bitcoin memiliki sistem utama bernama blockchain, inilah roh utama dari aktivitas uang virtual ini. Blockchain dapat diibaratkan sebagai sebuah ledger atau catatan transaksi. 

Bedanya dengan dunia perbankan saat ini, jika ledger hanya dimiliki dan hanya dapat dilihat oleh pihak bank, maka blockchain dalam dunia uang virtual bitcoin merupakan catatan transaksi seseorang yang direkam secara kronologis dan dapat dilihat oleh semua pihak yang terlibat dalam transaksi, bahkan orang-orang berikutnya yang terlibat transaksi dengan Anda dapat melihat sejarah transaksi Anda selama ini. 

Anda tidak dapat memanipulasi blockchain karena sifatnya yang terdistribusi ke setiap pihak yang terlibat dalam transaksi dengan Anda. Anda mungkin bisa menghapus blockchain milik Anda dan mengubahnya, namun catatan transaksi Anda yang tersimpan di dalam blockchain telah tersebar di banyak pihak, sehingga setiap orang dapat memverifikasi data yang ada.

Dengan demikian, mekanisme blockchain bisa dikatakan sebagai proses desentralisasi perbankan, saat setiap orang, secara individual, dapat mengendalikan uang mereka, memindahkan nilainya dari satu tempat ke tempat lain, tanpa perantara, tanpa turut campur tangan pihak ketiga, tanpa bank.

Mengapa Bitcoin dan uang virtual lainnya dipertanyakan?

Di tahun 2009, sejak Satoshi Nakamoto, demikian nama samaran penggagas pertama uang virtual pertama merumuskan protokol untuk uang digital yang ia beri nama Bitcoin, dengan memakai mekanisme blockchain yang tersimpan di komputer atau ponsel setiap orang, maka Anda bisa memulai aktivitas perbankan virtual Anda secara peer to peer, tanpa perantara, tanpa bank.

Bagaimana dengan pengamanannya? Protokol yang Satoshi Nakamoto bekerja dengan menggunakan kriptografi, sehingga seseorang bisa menyimpan uang virtualnya, dalam hal ini Bitcoin di dalam sebuah dompet digital. Dompet ini bisa diibaratkan sebagai akun rekening bank Anda. 

Seseorang dapat mengirim uang virtual ke dalam dompet Anda dan hal yang sebaliknya, Anda bisa mengambil uang virtual dari dompet digital Anda untuk membayar secangkir espresso hangat misalnya. Berbeda dengan bank di dunia nyata, maka Bitcoin dan uang virtual lainnya hanya bisa diakses dengan menggunakan kunci rahasia kriptografis.

Pada tanggal 26 Januari 2018 yang lalu, Coincheck, mata uang cryptocurrency Jepang yang sejenis dengan uang virtual Bitcoin, telah menjadi korban peretas. Alhasil US$ 538 juta (setara Rp 7,1 triliun) raib dari dompet digitalnya. Untungnya, pemerintah Jepang telah melakukan pengawasan ketat serta transparansi antara platform dan Financial Services Agency di Jepang sehingga ketika hal itu terjadi maka pemerintah dapat merespon dengan cepat dengan data akurat yang mereka miliki.

Namun keberhasilan para peretas itu telah mengusik keamanan Bitcoin dan ratusan jenis uang virtual yang mulai sering dipertanyakan. Ketiadaan regulasi yang kuat, di dalam hal ini campur tangan negara, menjadikan uang virtual menjadi komoditas yang rentan dan berisiko tinggi.

Di Indonesia, melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, menyatakan bahwa transaksi pembayaran dan keuangan di dalam negeri wajib menggunakan rupiah, dan juga Peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi pembayaran dan PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, maka penggunaan uang virtual semacam Bitcoin jelas-jelas dilarang.

Apa yang positif dari Bitcoin dan uang virtual lainnya?

Dengan bentuknya yang ada saat ini, Bitcoin dan uang virtual sejenisnya, yang jumlahnya mencapai lebih dari 1500 merk, menurut situs CoinMarketCap per tanggal 31 Maret 2018, dengan nilai kapitalisasi total $276 milyar dolar atau lebih dari Rp 3800 trilyun, dengan 45% pasar dikuasai oleh Bitcoin, kelihatan sangat menjanjikan. Dengan nilai kapitalisasi sebesar itu, uang virtual kelihatannya masih akan terus menjadi ladang bisnis alternatif yang cukup menjanjikan sampai beberapa tahun ke depan.

Dimaz Wijaya, pakar IT Indonesia dan Oscar Darmawan, CEO Bitcoin Indonesia, di dalam bukunya "Blockchain : Dari Bitcoin Untuk Dunia", menyadari kelebihan cara kerja blockchain yang terdesentralisasi ini menjanjikan transparansi dan kecepatan proses transaksi di masa mendatang. Kemustahilan untuk menghancurkan data blockchain ini tentu dapat diaplikasikan pada banyak segmen lain. 

Sekarang bayangkan saat data-data sertifikat tanah, data lagu yang Anda karang, hak paten dari rumus atau formula ajaib yang Anda buat, saat semuanya itu dimasukkan ke dalam blockchain, maka itu tidak dapat dihapus, dan semua orang dapat menjadi hakim langsung tentang keaslian data yang Anda buat. ini berarti pembajakan dan pemalsuan, nyaris dapat ditekan sampai ke titik nol. Aset yang menjadi privasi Anda tidak akan dapat diinterupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Di luar semua itu, yang terbesar dari semuanya ialah remitan. Remitan adalah uang atau barang yang dikirimkan oleh TKI ke daerah asal.

Menurut Data Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, data dari situs milik BNP2TKI, selama periode 2017 remitansi TKI telah mencapai  8,75 milyar USD (Rp 119 trilyun), dan bisa dibayangkan berapa total potongan administrasi yang jatuh ke pihak bank dengan jumlah TKI tidak kurang dari 9 juta pekerja? Dengan menggunakan mekanisme blockchain, para TKI itu bisa langsung mengirimkan uangnya kepada keluarga mereka di kampung halamannya nyaris secara real-time,tanpa perantara, dan tanpa potongan administrasi dan biaya korespondensi bank yang dapat berkisar antara 5-30 USD per transaksi tergantung lokasi asal bank pengirim.

Dengan demikian, lepas dari aspek negatifnya, mesin bernama blockchain yang ada di balik Bitcoin dan uang virtual lainnya dapat dimanfaatkan dengan lebih bijaksana oleh pemerintah, untuk memecahkan banyak masalah kompleks yang selama ini belum ditemukan solusinya seperti permasalahan pembajakan, korupsi, pemerataan ekonomi dan hak paten, dan bisa jadi ada masalah lain yang bisa dipecahkan dengan menggunakan sistem shareterdesentralisasi ala blockchain, dan tentunya dalam hal ini, pemerintah perlu juga menyiapkan juga regulasi-regulasi yang dapat mengatur kemampuan blockchain yang amat mengagumkan itu.   

(Pardamean Panjaitan, Maret  2018, PUSAKA).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun