Suminah
Oleh : Purwanto Yakub
Mereka meringkuk kedinginan, menikmati indahnya dipan
Tak terhiraukan suara teriakan toa Musholla, dari muazdin renta
Suara gemetar yang tidak sambung nafasnya, membelaiku dalam peraduan
Bangkit dan segera kusambut panggilan itu, untuk tunaikan kewajiban.
Berganti langkah ini untuk tunaikan asa selanjutnya
Desiran amplifier tua tak terdengar lagi,  nyanyian engsel tua pagar  Musholla
yang tersisa bak kidung asmara.
Serasa ikut mengantarkan derap langkah si tangan lembut yang perkasa
Sepanjang tahun tak pernah mengenal semir sepatu
Perjalanan memaksa penuh lumpur dan debu
Sepatu boot  membungkus sepasang kaki
 Tak peduli walau hujan badai menghampiri.
Pagi buta tak terlihat warna, kaos kaki berbeda merek tidak terasa
Lompatan cahaya timur mulai terlihat
Menyapa siang meninggalkan malam
Bulatan matahari menyengat dahinya
Seakan menyapa sang pengelana pagi
Tertegun sejenak, melihat hamparan orange laksana bubur yang menggoda
Tertancap roda sang kelana, sapaan biasa menghadang waktu.
Deru  motor segudang muatan,  membelah keheningan embun pagi
Demi putra putri pertiwi, yang setia menanti
Kubangan laksana permadani Sultan, yang lembut tiada terkira
Yang dinanti tiba tanpa rupa, tiba selamat saja syukur jua
Hiasan lumpur bak karya seni kelas dunia
Senyuman lebar, dagangan habis lelah terbayar
Suminah sang penakluk jalanan
Berteman gelap panas dan hujan
Menembus rimba menghantar badan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H