Saat dipanggil ke Istana, Senin 21 Oktober 2019 yang lalu. Kemudian mendapatkan informasi bahwa Nadiem akan duduk sebagai salah satu Menteri di Kabinet Jokowi. Hari ini, Rabu 23 Oktober 2019 diumumkan sekaligus dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masa jabatan 5 tahun kedepan. Â Beragam komentar bermunculan, ada yang memandang sebelah mata, pun ada yang senang. "Out of the box, Pak Jokowi, keren". Seru nya.
Bagi orang yang memandang sebelah mata mempunyai alasan yang masuk akal juga. "Bagaimana mungkin seorang Nadiem mengerti kurikulum pendidikan di Indonesia?". Dia tidak punya background di institusi itu sama sekali.
Banyak tokoh yang lebih pintar dan lebih pantas daripada Nadiem. "Kurikulum kita sudah cukup crowd, dibutuhkan seorang yang cukup capable dan ready to use". Ibarat mencari driver, dicari yang tidak hanya punya SIM, tetapi juga sekaligus bisa menyetir dan mengahafal jalanan sebagai advantage point.
Di sisi lain, beberapa orang berkomentar: " Senang sekali Nadiem terpilih". Berharap dia bisa mereformasi dan berani mengambil langkah quantum leap untuk sistem pendidikan kita. Saya pribadi berada di golongan orang-orang yang berpendapat begini.
Mengharapkan Nadiem melakukan perubahan signifikan terhadap pola ajar, menentukan standar-standar berdasarkan kompetensi, baik terhadap peserta didik maupun terhadap tenaga pengajar. Lalu menetapkan target-target terhadap semua stakeholder di dunia Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagai orangtua dari dua anak yang masih sekolah di Sekolah Dasar (SD), cukup prihatin menyaksikan setiap hari anak-anak harus memangku tas ransel yang sedemikian berat. Penuh dengan buku-buku dan peralatan lainnya.
Belum lagi bobot pelajarannya yang oleh saya sebagai orang tua harus menyerah, karena sudah tidak mampu lagi untuk mengikuti pelajaran. Menurutku, bobot dan tingkat kesulitan pelajaran anak SD sekarang itu dulu aku hadapi di tingkat SMP atau malah SMA.
Pertanyaannya adalah: "Apakah memang harus demikian?". Bobot dan tingkat kesulitan pelajaran dulu memang sangat berbeda dengan sekarang. Pertanyaan kedua: Â "Apakah semua tingkat kesulitan itu berguna dikemudian hari bagi peserta didik?".
Kebanyakan pelajaran yang kita pelajari dulu kurang begitu bermanfaat ketika berada diposisi pencari kerja. Pengalaman pribadi saya dan sangat banyak orang mengatakan hal yang sama, bahwa pelajaran yang dulu dioelajari, dihafal dengan susah payah tidak banyak manfaatnya dan tidak berkorelasi dengan pekerjaan saya sekarang.
Nadiem yang kukenal adalah sosok yang melihat masa depan. Itulah sebabnya debutnya di Gojek berhasil dan sukses. Karena siapa sangka di jaman yang membutuhkan kecepatan, ketepatan, simplicity, mudah, dan reachable, yang dibutuhan kebanyakan orang sekarang ini, terjawab lewat Gojek yang dia rintis.
"Hubungannya dengan Pendidikan dan kebudayaan kira-kira apa?"
Tidak perlu menerawang untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh SDM Indonesia di 5 tahun kedepan, sehingga bisa berkompetisi dengan SDM dari Negara lain. Banyak buku, analisa yang sudah memprediksikannya. Seorang Nadiem pasti sangat mengetahui hal ini. Dan harapan itu ada pada Nadiem.
Selamat bekerja Mas. Anda beruntung mendapatkan kepercayaan menjadi Menteri termuda. Saya ingin sekali menjadi Menteri, tapi belum kesampaian, hahaha. Torehkanlah legacy, karena semua pekerjaan baik yang dilakukan dengan sepenuh hati dengan tujuan benar dan mulia, jerih payahmu tidak akan sia-sia. Jadikan 5 tahun menjadi periode emas sekaligus akan dikenang. Karena membawa angin segar demi Indonesia 5 tahun yang akan datang. Â Ibarat lagu untuk guru : "Jasamu tiada tara..."
Purwanto Siagian
23102019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H