Masyarakat lokal atau adat adalah orang yang memahami karakter wilayahnya, seperti di Blora dengan karakter angin yang kecil, jika menggunakan kincir angin seperti umumnya kemungkinan tidak akan berputar maka mesti ada inovasi dan penyesuaian terhadap karakteristik lingkungan.Â
Kincir angin sumbu vertical yang terpilih. Kedua, dukungan aparatur pemerintah, hingga tingkat terendah berupa Desa, RT/RW dan bahkan pemimpin masyarakat adat juga memegang peranan yang sangat penting. Hal semacam ini yang kiranya layak untuk dikampayekan dan replikasi di banyak tempat yang tersebar luas diseluruh penjuru Indonesia.
Energi Terbarukan Masih Minim Pengelolaan
Pasokan energi per kapita di Indonesia masih kurang, bahkan tidak mencapai setengah rata-rata G20. Bahan jika dihitung berdasarkan biaya operasional dan pengeluraran PLN, menurut laporan PLN tahun 2019 tercatat PLN minus 29,8 triliun.Â
Total pendapatan PLN mencapai 285,6 truliun Rupiah sedangkan biaya operasionalnya 315,4 triliun Rupiah. Untuk menutupinya dianggarkan dari APBN. Tentunya jika ini terus menerus dibiarkan akan sangat membebani kedepanya bahkan besar kemungkinan akan mengorbankan rakyat.
Desa Kasepuhan Adat Ciptagelar, desa Kedungringin, Blora Jawa Tengah dan Desa Kedungrong, Kulonprogo Yogyakarta merupakan suatu contoh nyata bagaimana energi terbarukan dapat memenuhi kebutuhan listrik meraka secara mandiri. Maka sudah seharusnya penggunaan energi terbarukan semakin dioptimalkan di Indonesia.Â
Perkembangan energi terbarukan di Indonesia, masih lambat, baru 12%, di bawah rata-rata negara G20 sekitar 25%. Dengan sumber yang paling banyak digunakan berasal dari air dan panas bumi.
Kita mesti ingat pula bahwa dalam Perjanjian Paris, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan 29% emisi dengan usaha sendiri atau 41% dukungan internasional. Kenyataan saat ini sektor kelistrikan merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca.Â
Menurut Fabby Tumiwa, selaku Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), peningkatan pemanfaatan energi terbarukan akan sangat membantu Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca yang bahkan bisa mencapai 36%.
Berdasarkan kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan United Nation Development Programme (UNDP) 2018, emisi sub sektor pembangkit listrik mencapai 199 MtCO2e pada 2017.Â
Hingga 2030, diperkirakan tumbuh 10,1% per tahun atau 699 MtCO2e. Caranya tidak lain adalah dengan mengurangi jumlah pembangkit listrik tenaga batubara dan meningkatkan kontribusi energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030. Salah satu upaya mikronya adalah memaksimalkan upaya energi berbasis komunitas, seperti pada komunitas adat Kesepuhan Ciptagelar ini.