Ketakjuban lain dapat kita temukan ketika melewati pintu Omah Gede (rumah tinggal Abah-Emak, pimpinan kasepuhan) bersamaan dengan itu akan ditemui beragam perangkat elektronik, seperti komputer, sound system, kulkas, berbagai alat musik bahkan termasuk perangkat pemancar radio dan beserta jaringan televisi lokal, Ciga TV.Â
Berbagai perlengkapan dan sarana itu bukan sekedar barang pajangan tapi berfungsi normal sebagaimana umumnya. Bukan hanya itu saja bahkan hampir setiap rumah di wilayah kasepuhan juga punya televisi.Â
Televisi itu digunakan untuk menonton berbagai dokumentasi tradisi dan aktivitas budaya lainnya yang ditayangkan melalui Ciga TV, stasiun televisi yang secara swadaya dikembangkan masyarakat Ciptagelar. Ini saat ini menjadi salah sumber informasi dan pengetahuan kebanggaan mereka, berkat ketersediaan energi listrik.
Lantas pertanyaan berikutnya dari mana masyarakat kasepuhan mendapatkan energi untuk melistriki berbagai perangkat elektronik tersebut? Apakah menggunakan jaringan listrik Negara?
Ternyata, jawabannya tidak, mereka juga secara swadaya membangun pembangkit listriknya sendiri, bergotong royong dan kerja sama dengan berbagai pihak. Masyarakat Ciptagelar ternyata punya pembangkit listrik tenaga air dan matahari. Â Kiranya Desa Adat Ciptagelar layak menyandang gelar sebagai desa yang berdaulat atas pangan dan energi.
Mereka telah memanfaatkan berbagai sumber daya energi terbarukan, empat PLTMh dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik kasepuhan. Menariknya lagi, ini ternyata bukan hal yang baru berlangsung.Â
Masyarakat Ciptagelar telah memulainya sejak tahun 1997, bahkan untuk skala lebih kecil, listrik sudah diproduksi desa ini sejak tahun 1992. Menggunakan pembangkit listrik mikro hidro, cara ini terbukti berhasil menghidupi listrik untuk 332 rumah dan 38 ribu warga.Â
Bahkan inovasi yang jauh lebih sederhana telah menjadi keseharian, sebelum ramai diperbincangkan mengenai Pohon Kedondong yang dapat menghasilkan listrik, mereka di sana juga sudah memulainnya dengan memanfaatkan tanaman, Hariang yang banyak tersebar di sekitarn wilayah kasepuhan. Tanaman itu juga terbukti berhasil menyalakan lampu led berdaya rendah. Sekali lagi, Masyarakat Adat Ciptagelar adalah masyarakat adat pelopor yang penuh gagasan dan inovasi.
Pemaanfaatan sumber energi terbarukan lain yang digarap dengan skala lebih besar dimulai dari keberhasilan pembangunan turbin Cicemet, berkapasitas 50 kVa datang dari inisiatif dan partisipasi masyarakat adat yang ketika itu berhasil menjalin kerjasama dengan lembaga JICA Jepang.Â
Namun, turbin itu kini telah dipensiunkan, uzur dimakan usia. Tak berhenti disitu, berakhirnnya era turbin Cicemet, kurun 2006-2012 disusul dibangunnya turbin Situ Murni dengan kapasitas yang sama, 50 kVa atas fasilitasi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hingga kemudian berlanjut lagi dengan pembangunan PLTMh Cibadak dan Ciptagelar, kurun waktu 2013-2014.Â
Diperkirakan, PLTMh ini juga telah memberi akses energi untuk 1.500-1,700 keluarga di desa tersebut. Energi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) juga turut terpasang di sana yang digunakan untuk memancarkan wifi desa.