Mohon tunggu...
Tiyan Purwanti
Tiyan Purwanti Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paruh Waktu dengan Segala Kebaikan

5 Mei 2017   13:05 Diperbarui: 8 Mei 2017   12:08 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyebutnya ‘part time job’ atau kerja paruh waktu yang menghabiskan waktu lima jam atau lebih. Di sebuah toko mini dekat pasar, bertaruh bangun lebih awal bersama para pedagang lainnya. Saya lebih memilih jadwal masuk pagi karena setelah pukul sebelas saya sudah bebas berkeliaran. Hehe. Meski begitu, konsekuensi yang saya dapat adalah mesti bertarung melawan rasa malas beranjak dari tempat tidur.

Ada hal-hal yang saya syukuri belakangan ini. Terutama perubahan jadwal hidup dan bertemu orang-orang baru. Perubahan jadwal masuk kerja sekarang pukul enam, otomatis saya sudah melek pukul lima atau empat (Disekaliankan saja shalat malam minta sama Tuhan biar semua usaha lancar). Maka bila harus bangun sebegitu pagi, saya sudah harus merem pukul sembilan dan paling lambat sepuluh. Apalagi kalau alarm lupa saya buat, secara reflek adzan subuh sudah manggil-manggil dari surau. (bangun pukul lima sudah merasa terlambat; pekerjaan cuci piring dan mandi sudah menyita waktu)

Nah, kerja paruh waktu dengan segala kebaikannya saya temukan di antara para pedagang. Kalau semasa kuliah dulu saya biasanya mendengar istilah wanita-wanita tangguh, sekarang saya menemukan istilah ibu-ibu tangguh. Karena mereka membantu suami mencari nafkah. Entah itu secara sukarela atau terpaks—sebab perekonomian yang mendesak. Saya menaruh salut pada ibu-ibu yang sedari subuh sudah merapikan dagangan. Dari tempat bekerja sekarang saya suka memperhatikan mereka. Cara mereka mendekati, berbicara, bersikap dan lain sebagainya. Maklum saya lakukan demikian, karena saya takut sebagai pegawai baru salah bertindak. Bisa-bisa membuat semua orang nyolot.

Sebulan dua bulan, tiga sampai empat bulan, saya sedikitnya tahu karakter mereka. Memulai mengajak bicara tetangga sebelah. Bercanda. Terkadang juga di bully. Wajar.. namanya juga paling muda sendiri. ^^

Bila diperhatikan, tetangga disebelah kanan saya punya jiwa humoris akut, setiap saya menyapa akan dibalas dengan tidak nyambung namun lucu. Sedangkan tetangga di sebelah kiri saya orangnya kritis parah. Apalagi itu menyangkut masalah politik. Kuping saya sedikit panas bila dia terus melukai pilihan saya yang artinya bukan pilihan dia.

“Apaan sih dia, gubernur baru itu tidak ada apa-apanya.” Kata dia dan saya hanya mengangguk, tersenyum, menelan ludah saja, siapa juga yang mau melawan. Duuuh!

Di bagian depan ada sekumpulan ibu-ibu yang terbilang unik (bila tidak ingin dikatakan rada’ kurang waras :D). Sejujurnya percakapan mereka itu bisa terdengar hingga ke toko saya, hasilnya saya jadi ikut tersenyum atau tertawa. (Konyol sekali kehidupan ini bila kita mau bergaul dengan orang-orang yang tahu kapan bercanda dan kapan serius. Itulah mengapa saya tidak suka dengan orang yang terlalu serius. Susah diajak bercanda, sudah diajak humor, jangan-jangan kalau kita bicara dia malah menyimpan dendam).

Ibu-ibu tangguh itu menjajakan berbagai bahan pokok. Dengan harga bervariasi dan cara pendekatan yang bisa dibilang berlebihan kepada calon pembeli. Harganya pun akan disesuaikan dengan siapa ia dihadapkan. Biasanya yang sudah dikenal akan diberikan korting atau diskon lebih murah. Tinggal pintar-pintarnya kita sebagai penjual maupun pembeli membangun hubungan dengan orang lain.

Dan membangun hubungan itu berhasil saya lakukan hingga akhirnya terjebak dengan posisi serba tidak enak. Akibat banyak bergaul dan mendengar curhatan para ibu-ibu tentang kehidupan mereka; bercerita tentang masa lalu yang tidak pernah mereka lupa. Sama seperti saya, bagaimana cara saya melupakan masa lalu?.Dan imbalannya saya tidak boleh menolak pemberian mereka. (Dimana jika menolak saya akan dimarahi dan jika saya menerima maka saya merasa punya beban untuk membalas).

 “Nduk, sudah mau pulang?” *kata Nduk itu panggilan sayang bagi orang Jawa ke anak putrinya.

“Iya Bude, lagi beres-beres dan lima belas menit lagi tutup”.

“Nanti kesini ya, bawa Ikan”

Besoknya..

“Nanti kesini ya, bawa sayur”

Nanti kesini ya, nanti kesini ya, dan begitulah seterusnya.

“Sudah cukup Bude.. saya tidak enak, tidak kasih apa-apa ke Bude.”

“Kamu ini nolak-nolak rezeki, kalau dikasih itu ambil. Emangnya bude gak kenal orangtuamu, bapak sama mamamu itu teman bude juga. Gak usah malu-malu kayak kucing begitu. Bude gak suruh kamu bayar saja kok. Kalau besok bude kasih lagi harusnya kamu ngomong begini “Aduh bude.. sekalian sama tempatnya saja” begitu..”

Saya tertawa bersama para pedagang yang ramah.

Ke-esokannya..

“Bawa sayur ya, Nduk..”

“Oke, saya beli sawi plus kangkung sepuluh ribu” (satu ikat sawi buat campuran mie, satu ikat kangkung buat kelinci, maksudnya begitu) tetapi yang saya dapatkan ampun-ampunan. Tiga ikat sawi dan kangkung lima ikat. Gileeee!!

“Bude.. nanti saya gak bisa bawa pulang, apa pula pikir bos saya nanti..”

“Bawa!” dengan nada perintah. Aduh, kebaikan mereka justru membuat saya malu sekali.

Mereka tidak suka membaca buku dan duduk santai seperti saya. Mereka lebih suka bekerja dan beramah-tamah dengan pembelinya. Mereka tidak harus mencari ilmu dengan sekolah dan kuliah tinggi. Mereka sudah diajari langsung oleh kehidupan; pahit manisnya kenyataan yang membuat mereka menjadi ibu-ibu tangguh. Beda dengan orang-orang yang mengaku berpendidikan, yang seharusnya semakin berisi semakin merunduk, bukannya sebaliknya.

Ada juga yang membuat saya terkejut, pemahaman-pemahaman hidup yang sering saya peroleh lewat buku justru mereka bisa pahami sendiri tanpa buku. Dengan melihat kenyataan saja sudah cukup membuat mereka cerdas, rasanya.

“Bude tidak takut miskin, Nduk. Bude sudah kenyang dengan kemiskinan. Bude sudah merasakan semua kekurangan. Kondisi yang sekarang Bude syukuri apa adanya. Allah sudah kasih nikmat ke Bude luar biasa. Memberikan kamu ini dan itu samasekali tidak membuat Bude kekurangan. Makanya kamu gak usah nolak-nolak kalau Bude lagi kemasukan malaikat..”

“Zaman sekarang dan dulu itu jauh berbeda, Nduk. Dulu orang melahirkan tidak ada operasi. Melahirkan ya melahirkan. Menunggu hingga waktunya bayi keluar, bukan seenaknya dokter langsung memutuskan operasi kalau jam sekian bayi belum keluar. Sudah ada jalannya dan jangan dipaksa. Kamu kalau mau melahirkan jangan mau dibodoh-bodohi. Maksud Bude, kamu periksa posisi bayi, dan kalau tidak ada masalah lebih baik normal ya”

“Maunya sih begitu, Bude. Masalahnya kalau bicara melahirkan sama saja bicarain siapa calon Bapaknya”

Kami tertawa bersama.

Kebaikan itu ada dimana-mana. Kebaikan terkadang banyak ditemukan di sekitar orang-orang ‘kecil’ yang justru berjiwa besar. Semoga kita (terutama saya) terhindar dari pembicaraan yang malah mengarah pada gossip dan mencela orang lain. Semoga kita (terutama saya) bisa menjadi pribadi yang mau terus belajar. Belajar dari hal kecil sekalipun. Dan saya bersyukur dengan semua yang Tuhan berikan; kebaikan, juga bertemu orang-orang berbeda. Yang unik dan mengesankan.

Aimas, 05 Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun