Kadang ingin ngaku saja kalo aku ini asli Jawa. Toh dari kecil dapat pendidikan ala Nenek, Bibi dan Emak yang menyuarakan agar menjadi perempuan jawa. Berhenti manja. Tidak ada bentuk keistimewaan meski anak perempuan satu-satunya. Hanya dapat lebih perhatian agar menjadi perempuan seutuhnya. Bisa diartikan itu.. kamu tidak mungkin bego mengurus rumah nantinya.
Dan..
Aku lebih memilih bilang ke kenalan baru bahwa aku Sunda. Kesannya lebih menyenangkan. Paling banter di sapa 'Neng gelius.. kumaha damang?' Santun bener. Seolah perempuan Sunda emang kemayu, ayu, alim pula haha.Â
Lambat laun aku jadi tersadar.. aku tetap tidak boleh bertindak begitu. Â
Tidak bisa memungkiri kenangan kami naek perahu, ke kebun salak, perosotan di tangga rumah, ziarah ke makam nenek-kakek. Wajah tante, kakak sepupu, semua yang pernah kusambangi ke daerah bernama Enrekang sana.Â
Tetapi kembali lagi. Hatiku mendadak lesu dan 'keistimewaan' kumaksud memudar, Dear. Kalau lah disindir soal dihargain berapa untuk perempuan Bugis. Jangan kemahalan nanti susah kawin!Â
Nyesek, Dear, swear.. !!Â
Rasanya aku pengen naik ke gunung terus teriak tanpa peduli orang mau berkata gila; "Aku ini Papua! Berhentilah menyindir harga pakean kawin, segala!"Â
Karena aku tidak terlahir di Bugis maupun Jawa, dengan syukur kuperkenalkan Papua. Jadi aku cuma bisa bahasa indonesia. Bahasa persatuan kita se-nusantara.Â
 "Aku Papua" Dear, peace!