Mohon tunggu...
Tiyan Purwanti
Tiyan Purwanti Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

(Bukan) Valentine Pink-ku Dapat (Bagian 1)

22 Februari 2016   18:22 Diperbarui: 22 Februari 2016   18:45 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Don't touch it!" Aku berteriak. "Itu bom!"

Si Huznu, teman kampus, tertahan lantas tertawa. Mulai penasaran dengan sekotak hadiah sebesar bantal kepala. Terbungkus rapi. Bersih. Mana mungkin terisi bom segala.

"Kira-kira ini apa ya, Huznu? kok gede banget!" Ikut menekan bungkusan. Meraba. apa coba??

 

"buka aja, Ti, aku penasaran juga nih". 

Kami saling pandang. beneran bukan bom, kan? tertawa lagi.

 

***

 

"Mba kenapa gak datang ke pengajian tadi? Tanya Bu Titi.

duh, merasa sangat bersalah.

 

"semua sudah menunggu mba disana, eh malah gak datang lagi"

aaarrrggh, semua kesalahan itu ingin sekali kutumpahkan pada Bian, adikku.

 

"ibu Susi kesal, ya?". Tanyaku balik.

Bu Titi tersenyum.

(Aduh, Antiiii kamu bego banget. Jelas-jelas kamu meng-iyakan pada mereka akan datang. Apa yang terjadi hingga begini?!) Mengutuk diri sendiri.

 

"Maafkan saya ibu Titi, bukan bermaksud tidak datang -bahkan sejak semalam sudah memilih busana untuk persiapan kesana- namun ada sedikit kendala, adik saya mendadak ada urusan dan membawa kabur Bapak ke kota." Membuat wajah bersalah sedunia. "Ditambah Pak Jolin ada urusan lainnya. Lengkap sudah saya tidak bisa hadir. Maafkan saya ya, Bu."

 

sumpah, ingin kutimpuk kepala Bian. Agar ia tersadar bahwa kelakuannya membuatku menjadi manusia pengkhianat & tidak amanah. Sosok mereka muncul satu persatu. Mengingatkan mereka bilang harus datang, ini penting. Itulah sebabnya, undangan yang mesti aku datangi namun gagal telah menjadikanku ingin menangis. 

 

"Ini ada titipan buat Mba Anti dari guru MI." Ibu Titi tersenyum ramah memberikan.

 

plak, seakan kena tampar (kamu gak  datang lantas dapat hadiah, Ti? Malu-maluin. Balikin!.) 

 

"Diambil toh mba.., kenang-kenangan nih." Ibu Titi menyodorkan kembali. Tersenyum. 

 

Jika mau dikata, aku serius menahan sekuat tenaga tidak meneteskan air mata. Bukan saja karena hadiah itu, bukan. Tetapi sebab rasa bersalah yang dibalas kebaikan. Bersyukur Ibu Titi tidak menggunakan gerakan tambahan seperti memeluk sebagai salam perpisahan. Bila iya, saat itu akan terulang kembali. Dimana kupeluk bu Susi, cengeng!

 

Bersambung.

*Foto Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun