Tiyan Purwanti, NO. 105
Gila!. Aku tidak tidur hingga tiga hari tiga malam, bahkan di malam-malam berikutnya. Hanya karena mengucapkan kata sakti itu padanya.
“Aku menyukaimu, Kak” jawabku kepada seorang pria yang usianya lebih tua lima tahun dariku. Dan bagiku, mengeluarkan kalimat itu saja sudah nyaris membuatku menahan sesak, kehabisan kata. Wajahku menggelembung merah, bukan marah. Betapa tidak, dalam hati dulu, aku sudah bersumpah mengungkapkan cinta setelah menikah.
Eh, apakah kata “menyukai” sama artinya “mencintai”? apakah aku baru menyatakan cinta juga padanya.
Tidak.. tentu tidak. Kata suka dan cinta jelas berbeda, An. Ada suara dari pikiranku. Jika ia bertanya lagi, apakah cinta, bilang saja padanya kalau kau akan mendengarnya ketika kita telah menikah.
Ah, aku sudah menutup wajahku dengan bantal.
***
“Sadar, Dek, sadar!, aku berani bertaruh.” Pria yang hidup bertahun lamanya bersamaku menatap ragu.
“Dia tidak akan datang. Trust me” katanya mantap.
Aku balik menatapnya, maksudmu?
“Lihatlah kenyataan, selama setahun belakang ini dia hanya menghubungimu, menghubungimu, dan menghubungimu”
Lantas?
Pria itu memegang pundakku, “Kakak cemburu tahu” tertawa.
Untuk kalimat terakhir aku dibuat tertawa. Dan pikirku mulai menerawang. Meyakinkan hati untuk yang entah sudah ke berapa kali. dia pasti datang. Bersabarlah!. Aku tentu akan deg degan jika nanti menghadapinya. Atau aku tidak akan mau keluar karena malu. Malu tapi mau.
“Dia menghubungimu tapi tidak mengatakan pasti kapan menemuimu, kan?” pria dihadapanku masih melanjutkan, tetapi kali ini tidak terdengar bercanda, katanya serius, sinis.
“Kakak sebenarnya mau bilang apa sih?”
“Selama hampir dua tahun ini dia tidak pernah bilang akan datang, kapan?”
Aku terdiam. Bungkam.
“Cobalah sekali saja kamu ganti perhatikan Zuhud, sudah berkali-kali datang, berkali berharap. Sikap cuekmu buat dia patah semangat”
Eh? zuhud siapa, aku tidak mengerti!
***
Hari ini, 27 September, Pria yang sering sekali menghubungiku, menggombali dengan kata-kata manis, dan bercanda itu kembali mengirimiku pesan. sepertinya hanya sebuah ritual yang lazim ia lakukan untuk semua orang, atau kebetulan hari itu adalah hari lahirku. Mengucapkan selamat dan tidak lupa seselip doa. Disana ada gambar senyum. Ah, senyum yang kini bisa diartikan tanda sayang sebatas seorang teman, kakak kepada adiknya atau orang yang akan dilupa.
Karena hari ini, tidak ada “kita” untuk di kemudian hari. status hubungan kami berakhir. Pria yang dulu aku yakin bahwa kelak datang menemuiku, perlahan menjauh.
Pesan 1:
“Jangan terlalu berharap, Dek, aku tidak ingin jika kemudian hari diantara kita ada yang tersakiti”
Ya Tuhan.. ternyata selama ini Cuma aku yang merasakan.
Pesan 2:
“kamu terlalu baik buat aku, Dek. Kamu baik, pintar, manis, pasti banyak yang suka sama kamu. Carilah orang yang lebih baik dari aku”
Kini aku baru tersadar, kalimat “kamu terlalu baik buat aku” jika diartikan sama dengan “aku sudah bosan sama kamu”.
Ada suara keras dari hatiku, menyadarkan logikaku. Dasar bodoh!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H