Mohon tunggu...
Muhammad Eko Purwanto
Muhammad Eko Purwanto Mohon Tunggu... Dosen - ALUMNI S3 UNINUS Bandung

Kuberanikan diri mengubah arah pikiran dan laku. Menyadarinya tanpa belenggu, dan identitas diri. Memulai hidup, merajut hidup yang baru. Bersama Maha Mendidik, temukan diri dalam kesejatian. Saatnya berdamai dengan kesederhanaan. Mensahabati kebahagiaan yang membebaskan. Cinta, kebaikan, dan hidup yang bermakna, tanpa kemelekatan yang mengikat. Hidup berlimpah dalam syafaat ilmu. Mendidikku keluar dari kehampaan. Hidup dengan yang Maha Segalanya, Menjadi awal dan akhirnya dari kemulyaan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengukur Kebersihan Jiwa di Puncak Ibadah Haji!

4 Juli 2023   12:08 Diperbarui: 4 Juli 2023   12:11 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh. Muhammad Eko Purwanto

Haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang mampu secara finansial dan fisik. Haji adalah ibadah yang dilakukan di Makkah, Saudi Arabia, dan sebagai salah satu acara terbesar bagi Umat Islam di dunia. 

Dalam tulisan ini, kita coba membahas bagaimana kita dapat mengukur kebersihan jiwa kita di puncak Ibadah Haji, baik secara lahir maupun bathiniah.

Hakekat dari Ibadah Haji merupakan sebuah rangkaian ritual ibadah yang diwajibkan, yang diperintahkan oleh Allah kepada setiap setiap Muslim, tentunya yang memiliki kemampuan finansial dan fisik. 

Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 97 menjelaskan, "Dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah, bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." Haji merupakan sebuah perjalanan spiritual yang memiliki tujuan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Beberapa ayat dalam al Qur'an dan al Hadits yang dapat kita pelajari lebih dalam, antara lain :

  • Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Ayat 196: "...dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah..."
  • Al-Qur'an Surah Al-Baqarah Ayat 197: "... Maka barangsiapa berkehendak melakukan haji maka tidaklah ada rafats, tidak ada kejahatan dan tidak ada adu mengadu dalam ibadah haji." 
  • Al-Qur'an Surah Al-Hajj Ayat 27-28: "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji. Mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan atas kuda yang kurus, mereka datang dari tiap lembah yang jauh. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan dalam beberapa hari yang telah ditentukan."
  • Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim: "Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang berangkat berhaji lalu ia tidak berbicara yang buruk dan tidak berbuat dosa, maka ia akan pulang seperti pada hari ibunya melahirkan (bebas dari dosa)." (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Hadis Riwayat Muslim: "Dari Amr bin Al-As, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang berhaji karena Allah dan ia tidak berbicara yang buruk dan tidak berbuat dosa, maka ia akan pulang seperti pada hari ia dilahirkan." (HR. Muslim).
  • Hadis Riwayat Ahmad dan Tirmidzi: "Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada haji except hanya ke surga." (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
  • Hadis Riwayat Ahmad: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Haji mabrur tidak ada balasan selain surga." (HR. Ahmad).

Dari penjelasan diatas, Ibadah Haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu Muslim, yang mampu secara fisik dan ekonomi. Ibadah haji itu sendiri memiliki berbagai pemaknaan secara filosofis, yang menambah pengetahuan, keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, antara lain:

  • Ibadah haji merupakan ibadah umat Muslim dalam mengikuti jejak Nabi Ibrahim, dimana ibadah haji merupakan perwujudan dari tindakan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang merupakan teladan bagi umat Muslim. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya Nabi Ismail sebagai ujian keimanan. Ketika Nabi Ibrahim bersedia melakukan perintah tersebut, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor domba. Hal ini mengajarkan makna pengorbanan dan ketaatan kepada Allah SWT.
  • Ibadah Haji menjadi ajang pertemuan dan interaksi antara umat Muslim dari berbagai belahan dunia. Para jamaah haji datang dari berbagai negara, budaya, dan latar belakang sosial yang berbeda. Dalam lingkungan yang sama, semua jamaah haji menjadi saudara seiman tanpa memandang perbedaan ras, budaya, atau status sosial. Ini mengajarkan pentingnya solidaritas dan persaudaraan di antara umat Muslim.
  • Ibadah Haji melibatkan berbagai kegiatan, seperti: mandi besar, berpakaian khusus (ihram), serta melakukan tawaf di sekitar Ka'bah. Selama melaksanakan rangkaian ibadah ini, jamaah haji diharapkan mendapatkan pemurnian jiwa dan kesadaran diri dalam menjalani kehidupan. Ibadah haji membantu menata kembali prioritas hidup, membebaskan diri dari dosa, serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Problematika Pelayanan Haji

Ibadah Haji dilakukan di Makkah, Saudi Arabia, tidak ditempat lain, maka sebagai penyelenggara adalah negara Saudi Arabia, dengan berbagai rangkaian ritual yang disyari'atkan oleh Islam. 

Oleh karena itu, sebagai salah satu acara terbesar bagi Umat Islam di dunia, maka Ibadah Haji pun dikelola atau dimenej secara profesional, mulai dari negara asal Jama'ah haji, sampai Jama'ah tersebut kembali ke Tanah Air. 

Di sinilah, berbagai negara, lembaga, intansi, bahwa berbagai perusahan ikut serta berkontribusi terhadap kelancaran dan pelayanan para Jama'ahnya, di seluruh dunia.

Beberapa waktu lalu, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi, Taufiq F. Al Rabiah (2/7/2023), melakukan pertemuan khusus sebelum menghadiri Hafl al-Haj al-Khitamy 1444H, dalam rangka perayaan selesainya puncak haji, di Kantor Kementerian Haji dan Umrah di Makkah, kemarin malam Waktu Arab Saudi. 

Berbagai persoalan Ibadah Haji tahun 2023 yang dialami Jama'ah Indonesia telah disampaikan, khususnya pelayanan jama'ah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. 

Meskipun hal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Mashariq dan pihak Saudi, namun Pemerintah RI setiap tahun selalu menyampaikan sejumlah masalah Ibadah Haji yang muncul kepada Menhaj Saudi. Pemerintah RI juga mengapresiasi berbagai kemudahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Jama'ah Haji Indonesia, selama ini.

Berbagai problematika Ibadah Haji tersebut, biasanya terjadi pada puncak ritual Haji, yakni: pada saat jama'ah berada di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan di wilayah ini, antara lain :

  • Pada tanggal 9 Dzulhijjah, jutaan jama'ah melaksanakan Wukuf di Arafah. Di padang Arafah ini, para jama'ah akan berhenti dan melakukan wukuf, mulai sesudah Zuhur hingga Maghrib. Wukuf merupakan puncak dari ibadah haji dan dianggap sebagai satu dari dua pilar utama ibadah haji. Selama wukuf, para jamaah berdoa, bertawasul, dan beribadah secara individu.
  • Pada malam hari, tanggal 9-10 Dzulhijjah, jutaan jama'ah menginap di Muzdalifah. Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju Muzdalifah setelah matahari terbenam. Di Muzdalifah, mereka akan menginap dan melakukan sholat Maghrib, Isya, dan Shubuh. Selain itu, mereka juga mengumpulkan batu, sebagai persiapan untuk menjalankan ritual Jumrah di Mina.
  • Pada pagi hari tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah haji akan berangkat dari Muzdalifah menuju Mina. Di Mina, mereka akan melempar tiga jumrah, yaitu: lempar Jumrah Aqabah, Jumrah Wustha, dan Jumrah Ula. Setelah lempar jumrah, para jamaah akan menyembelih hewan kurban dan membagikan dagingnya kepada kaum miskin.
  • Pada hari-hari berikutnya di Mina, setelah melempar jumrah pada hari ke-10, para jamaah haji akan melanjutkan lempar jumrah pada hari ke-11, ke-12, dan ke-13 Dzulhijjah di Mina. Di hari ke-11, mereka juga akan melakukan Tawaf Ifadah dan Sa'I, antara Shafa dan Marwah.

Dari jumlah jama'ah dan padatnya rangkaian ritual haji, saat kegiatan puncak ritual Ibadah Haji, maka di tiga wilayah tersebut mengakibatkan berbagai persoalan pelayanan, baik secara individual maupun kolektif. Problematika pelayanan ini biasanya disebabkan oleh jumlah jama'ah, minimnya pembimbing (pelayan) jama'ah, sistem antrian, sistem transportasi dan akomodasi yang terbatas, Kesehatan dan sanitasi, keselamatan dan keamanan, dan lain-lain.

Salah satu problematika utama yang sering terjadi di Arafah, Muzdalifah, dan Mina adalah kepadatan dan antrian yang parah. Kepadatan ini terjadi karena jumlah jamaah haji yang sangat besar, dalam ruang dan jadwal waktu yang terbatas. Pada saat wukuf di Arafah, jamaah haji berkumpul di padang luas untuk berdoa dan berintrospeksi. Namun, seringkali kerumunan ini dapat menciptakan tekanan fisik dan emosional, serta mengganggu kenyamanan dan keselamatan jamaah haji itu sendiri.

Berikutnya, adalah keterbatasan sistem transportasi dan akomodasi, yang juga menjadi salah satu problematika di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Membawa jutaan jamaah haji dari satu tempat ke tempat lain dengan aman dan efisien menjadi tantangan logistik yang besar bagi pihak penyelenggara. Terkadang, kendaraan umum, seperti: bus dan kereta api tidak mampu menampung jumlah jamaah haji yang besar hingga menyebabkan kemacetan dan keterlambatan perjalanan. Selain itu, terbatasnya fasilitas akomodasi di Mina dan Muzdalifah, seperti: tenda dan tempat beristirahat, juga membuat jamaah haji kesulitan mendapatkan tempat untuk beristirahat dan beristiqamah.

Problem kesehatan dan sanitasi menjadi isu serius juga di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Kepadatan jamaah haji yang tinggi dapat menjadi penyebab meningkatnya risiko penyebaran penyakit menular. Fasilitas sanitasi yang terbatas, seperti: toilet dan tempat pencucian, juga memperburuk masalah. Kekurangan air bersih dan kurangnya fasilitas medis yang memadai, terutama dalam menghadapi kondisi cuaca yang panas dan penuh debu, membuat jamaah haji menjadi rentan terhadap dehidrasi, penyakit pernapasan, dan masalah kesehatan lainnya.

Selanjutnya, dalam kerumunan yang padat, masalah keamanan harus menjadi perhatian utama, khususnya di tempat-tempat, seperti: Arafah dan Mina. Selain itu, pengawasan keamanan yang ketat diperlukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan jamaah haji, agar mereka tidak terjebak atau tersesat dalam kerumunan yang besar tersebut.

Dalam rangka mengatasi problematika ini, Pemerintah Arab Saudi dan pihak-pihak yang langsung berkontribusi terhadap kelancaran ibadah haji tersebut, telah berupaya meningkatkan infrastruktur, transportasi, dan fasilitas akomodasi di daerah-daerah yang digunakan untuk melaksanakan ibadah haji. Sistem pengawasan keamanan juga diperketat untuk memastikan keselamatan jamaah haji. Selain itu, pihak-pihak terkait termasuk badan penyelenggara haji dari berbagai negara juga memberikan upaya dalam memberikan informasi dan edukasi kepada jamaah haji, untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum berangkat. Namun demikian, problematika yang muncul di Arafah, Muzdalifah, dan Mina selama ibadah haji tidak dapat dihindari sepenuhnya, mengingat jumlah jamaah haji yang begitu besar.

Menguji Kebersihan Jiwa

Ibadah haji merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, untuk melakukannya. Selain menjadi salah satu kewajiban, ibadah haji juga dianggap sebagai momentum penting dalam kehidupan seorang Muslim.

Selama ibadah haji, seorang Muslim akan melakukan serangkaian ritual dan aktifitas yang mengharuskan mereka untuk memperdalam keyakinan kepada Allah SWT. Ritual-ritual tersebut meliputi Tawaf (mengelilingi Ka'bah), Sa'i (berlari-lari kecil, antara bukit Safa dan Marwah), wukuf di Arafah, melempar jumrah (melempar batu di tiga dinding simbolis yang melambangkan setan), dan berbagai ritual lainnya. Namun, ibadah haji juga bukan sekadar menjalankan serangkaian aktivitas fisik semata. Ibadah haji juga memberikan kesempatan bagi seorang Muslim, untuk mengukur dan menguji kebersihan jiwa mereka. Seorang Muslim harus mencapai kebersihan jiwa melalui introspeksi, penyesalan atas dosa-dosa masa lalu, serta berkomitmen untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, setelah kembali ke Tanah Airnya (negara asal jama'ah) masaing-masing.

Puncak dari pengujian kebersihan jiwa selama ibadah haji adalah saat wukuf di Arafah. Wukuf di Arafah merupakan waktu di mana seorang Muslim harus bermunajat kepada Allah SWT, mengakui segala kekurangan dan dosa-dosanya, dan berdo'a kepada-Nya, untuk ampunan dan keberkahan. Di Arafah, dalam keadaan berdiri di bawah panas matahari dan mereka berbagi kesulitan bersama dengan jutaan jama'ah lainnya, dimana seorang juga akan merasakan keterbatasan dan kerapuhan dirinya sendiri. Pada momen ini, semua lapisan sosial dan kebangsaan menjadi sama, tanpa perbedaan. Ini adalah momentum di mana manusia menghadap Sang Pencipta, dalam kerendahan hati dan memohon ampunan-Nya.

Selama wukuf, seorang Muslim harus memberikan ruang bagi pembaruan bathiniahnya. Kegiatan ini melibatkan refleksi diri dan kesadaran terhadap dosa-dosa, serta bertekad untuk meningkatkan kualitas keimanan dan akhlaqul kariemah serta hidup lebih dekat bersama Allah SWT. Sikap introspektif ini memungkinkan seseorang untuk membersihkan jiwa dari segala hal negatif yang telah mengotorinya dirinya.

Penting untuk dipahami, bahwa kebersihan jiwa tidak hanya berarti menghapus dosa-dosa masa lalu. Tapi juga membangun kualitas dan peningkatan dalam kesadaran dalam berketuhanan. Selama ibadah haji, seorang Muslim juga diajarkan untuk berbagi, menolong sesama, dan meningkatkan kualitas diri dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.

Mengingat bahwa ibadah haji merupakan rangkaian ritual yang melibatkan ribuan bahkan jutaan orang, menjaga kebersihan jiwa juga menentukan bagaimana hubungan individu dengan sesama. Selama berada di Tanah Suci, seorang Muslim diajarkan untuk bersikap toleran, sabar, dan saling menghormati. Mereka harus mengatasi egoisme dan berharap, bahwa kebersihan jiwa mereka juga didasarkan pada hubungan baik dan akhlak yang mulia dengan orang lain. Melalui refleksi diri, introspeksi, dan pengabdian yang tulus, seorang Muslim dapat mencapai kebersihan jiwa yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada kehendak dan hidayah Allah SWT.

Indikator Kebersihan Jiwa

Menyoal sejauh mana kita bisa mampu mengukur kebersihan jiwa kita, maka sebagai seorang peneliti, saya selalu dihadapkan dengan berbagai indikator penelitian, sebagai tanda atau faktor yang digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi sebuah obyek penelitian. Oleh karena itu, untuk mengukur tingkat kebersihan jiwa seseorang, maka kebersihan jiwa seringkali merujuk pada kondisi kesehatan dan keseimbangan mental individual, yang meliputi: kestabilan emosi, pemahaman diri, ketenangan pikiran, kemampuan dalam mengelola stres, dan kualitas hubungan sosial.  Beberapa indikator kebersihan jiwa tersebut digunakan dalam penelitian dan praktik kesehatan mental, antara lain:

  • Kesadaran Diri. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk memahami dan mengenali emosi, motivasi, dan nilai-nilai pribadi mereka. Ini melibatkan kesadaran tentang diri mereka sendiri, termasuk kekuatan, kelemahan, dan tujuan hidup.
  • Regulasi Emosi. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk mengenali, mengontrol, dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat dan konstruktif. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatasi stres, mengelola konflik, dan merasakan keseimbangan emosional.
  • Penerimaan Diri dan Orang Lain. Indikator ini melibatkan kemampuan individu untuk menerima diri mereka sendiri dan orang lain tanpa menghakimi atau menghakimi. Ini mencakup empati, toleransi, dan pemahaman terhadap perbedaan orang lain.
  • Hubungan Sosial yang Sehat. Indikator ini melibatkan kualitas hubungan antara individu dengan orang lain. Hubungan sosial yang sehat mencakup adanya dukungan emosional, dorongan positif, dan kedekatan interpersonal yang memperkaya secara emosional.
  • Tujuan Hidup dan Makna. Indikator ini melibatkan kehadiran tujuan hidup yang jelas dan makna dalam hidup individu. Ini termasuk membangun hubungan yang bermakna, menciptakan pengalaman yang memperkaya, dan mengejar tujuan yang disesuaikan dengan nilai-nilai pribadi.
  • Kapasitas Penyesuaian. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk beradaptasi dengan perubahan dan tantangan dalam hidup dengan cara yang sehat dan efektif. Ini termasuk kemampuan untuk mengelola stres, mengatasi kegagalan, dan melihat peluang di tengah kesulitan.

Pada akhirnya, dengan indikator-indikator diatas, tentu kita bisa mengukur kebersihan jiwa kita masing-masing secara obyektif, sehingga kita dapat memperbaiki kualitas kehidupan, setelah kembali ke Tanah Air. Lebih jauh, kita juga dapat berharap, ketika masyarakat kita semakin banyak melaksanakan ibadah haji di Mekkah, maka secara korelatif, akan semakin banyak pula individu-individu yang bersih dan tercerahkan jiwanya, dan semakin berkualitas hidupnya. Sehingga, Indonesia akan menjadi, "Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofur," yakni, sebuah negeri yang penuh keberkahan dari alam, dan masyarakatnya berakhlaq mulia. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 4 Juli 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun