Selama ibadah haji, seorang Muslim akan melakukan serangkaian ritual dan aktifitas yang mengharuskan mereka untuk memperdalam keyakinan kepada Allah SWT. Ritual-ritual tersebut meliputi Tawaf (mengelilingi Ka'bah), Sa'i (berlari-lari kecil, antara bukit Safa dan Marwah), wukuf di Arafah, melempar jumrah (melempar batu di tiga dinding simbolis yang melambangkan setan), dan berbagai ritual lainnya. Namun, ibadah haji juga bukan sekadar menjalankan serangkaian aktivitas fisik semata. Ibadah haji juga memberikan kesempatan bagi seorang Muslim, untuk mengukur dan menguji kebersihan jiwa mereka. Seorang Muslim harus mencapai kebersihan jiwa melalui introspeksi, penyesalan atas dosa-dosa masa lalu, serta berkomitmen untuk menjalani kehidupan yang lebih baik, setelah kembali ke Tanah Airnya (negara asal jama'ah) masaing-masing.
Puncak dari pengujian kebersihan jiwa selama ibadah haji adalah saat wukuf di Arafah. Wukuf di Arafah merupakan waktu di mana seorang Muslim harus bermunajat kepada Allah SWT, mengakui segala kekurangan dan dosa-dosanya, dan berdo'a kepada-Nya, untuk ampunan dan keberkahan. Di Arafah, dalam keadaan berdiri di bawah panas matahari dan mereka berbagi kesulitan bersama dengan jutaan jama'ah lainnya, dimana seorang juga akan merasakan keterbatasan dan kerapuhan dirinya sendiri. Pada momen ini, semua lapisan sosial dan kebangsaan menjadi sama, tanpa perbedaan. Ini adalah momentum di mana manusia menghadap Sang Pencipta, dalam kerendahan hati dan memohon ampunan-Nya.
Selama wukuf, seorang Muslim harus memberikan ruang bagi pembaruan bathiniahnya. Kegiatan ini melibatkan refleksi diri dan kesadaran terhadap dosa-dosa, serta bertekad untuk meningkatkan kualitas keimanan dan akhlaqul kariemah serta hidup lebih dekat bersama Allah SWT. Sikap introspektif ini memungkinkan seseorang untuk membersihkan jiwa dari segala hal negatif yang telah mengotorinya dirinya.
Penting untuk dipahami, bahwa kebersihan jiwa tidak hanya berarti menghapus dosa-dosa masa lalu. Tapi juga membangun kualitas dan peningkatan dalam kesadaran dalam berketuhanan. Selama ibadah haji, seorang Muslim juga diajarkan untuk berbagi, menolong sesama, dan meningkatkan kualitas diri dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.
Mengingat bahwa ibadah haji merupakan rangkaian ritual yang melibatkan ribuan bahkan jutaan orang, menjaga kebersihan jiwa juga menentukan bagaimana hubungan individu dengan sesama. Selama berada di Tanah Suci, seorang Muslim diajarkan untuk bersikap toleran, sabar, dan saling menghormati. Mereka harus mengatasi egoisme dan berharap, bahwa kebersihan jiwa mereka juga didasarkan pada hubungan baik dan akhlak yang mulia dengan orang lain. Melalui refleksi diri, introspeksi, dan pengabdian yang tulus, seorang Muslim dapat mencapai kebersihan jiwa yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada kehendak dan hidayah Allah SWT.
Indikator Kebersihan Jiwa
Menyoal sejauh mana kita bisa mampu mengukur kebersihan jiwa kita, maka sebagai seorang peneliti, saya selalu dihadapkan dengan berbagai indikator penelitian, sebagai tanda atau faktor yang digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi sebuah obyek penelitian. Oleh karena itu, untuk mengukur tingkat kebersihan jiwa seseorang, maka kebersihan jiwa seringkali merujuk pada kondisi kesehatan dan keseimbangan mental individual, yang meliputi: kestabilan emosi, pemahaman diri, ketenangan pikiran, kemampuan dalam mengelola stres, dan kualitas hubungan sosial. Â Beberapa indikator kebersihan jiwa tersebut digunakan dalam penelitian dan praktik kesehatan mental, antara lain:
- Kesadaran Diri. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk memahami dan mengenali emosi, motivasi, dan nilai-nilai pribadi mereka. Ini melibatkan kesadaran tentang diri mereka sendiri, termasuk kekuatan, kelemahan, dan tujuan hidup.
- Regulasi Emosi. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk mengenali, mengontrol, dan mengelola emosi mereka dengan cara yang sehat dan konstruktif. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatasi stres, mengelola konflik, dan merasakan keseimbangan emosional.
- Penerimaan Diri dan Orang Lain. Indikator ini melibatkan kemampuan individu untuk menerima diri mereka sendiri dan orang lain tanpa menghakimi atau menghakimi. Ini mencakup empati, toleransi, dan pemahaman terhadap perbedaan orang lain.
- Hubungan Sosial yang Sehat. Indikator ini melibatkan kualitas hubungan antara individu dengan orang lain. Hubungan sosial yang sehat mencakup adanya dukungan emosional, dorongan positif, dan kedekatan interpersonal yang memperkaya secara emosional.
- Tujuan Hidup dan Makna. Indikator ini melibatkan kehadiran tujuan hidup yang jelas dan makna dalam hidup individu. Ini termasuk membangun hubungan yang bermakna, menciptakan pengalaman yang memperkaya, dan mengejar tujuan yang disesuaikan dengan nilai-nilai pribadi.
- Kapasitas Penyesuaian. Indikator ini mencakup kemampuan individu untuk beradaptasi dengan perubahan dan tantangan dalam hidup dengan cara yang sehat dan efektif. Ini termasuk kemampuan untuk mengelola stres, mengatasi kegagalan, dan melihat peluang di tengah kesulitan.
Pada akhirnya, dengan indikator-indikator diatas, tentu kita bisa mengukur kebersihan jiwa kita masing-masing secara obyektif, sehingga kita dapat memperbaiki kualitas kehidupan, setelah kembali ke Tanah Air. Lebih jauh, kita juga dapat berharap, ketika masyarakat kita semakin banyak melaksanakan ibadah haji di Mekkah, maka secara korelatif, akan semakin banyak pula individu-individu yang bersih dan tercerahkan jiwanya, dan semakin berkualitas hidupnya. Sehingga, Indonesia akan menjadi, "Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofur," yakni, sebuah negeri yang penuh keberkahan dari alam, dan masyarakatnya berakhlaq mulia. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 4 Juli 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H