Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (Third)
Wira D. Purwalodra (Third) Mohon Tunggu... Guru - Terus menjadi pembelajar dan menjadikan rasa syukur sebagai gaya hidup.

Mimpi besarnya saya saat ini adalah menyelesaikan Studi-studi saya, kembali ke kampung halaman, memelihara ikan, bebek, berkebun, terus belajar, terus mengajar, sambil menulis buku.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menjadi Pendengar yang Bijak: Membangun Hubungan Dewasa dengan Anak yang Beranjak Dewasa!?

24 Agustus 2024   21:28 Diperbarui: 24 Agustus 2024   21:32 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Wira D. Purwalodra

Menjadi seorang pendengar yang bijak ketika berhadapan dengan anak yang beranjak dewasa adalah seni yang memerlukan kebijaksanaan, kesabaran, dan pemahaman yang mendalam. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menjadi pendengar yang baik melalui konsep mendengarkan secara aktif dengan hati yang penuh kasih dan pikiran yang terbuka. 

Banyak orang tua merasa cemas ketika anak-anak mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kedewasaan; ini adalah masa transisi yang melibatkan perubahan emosional dan psikologis yang signifikan. 

Ajaran Islam mengenai hubungan antara orang tua dan anak, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an, mengingatkan kita untuk memperlakukan anak dengan hormat dan kebaikan. Hal ini sejalan dengan teori psikologi modern yang menekankan pentingnya komunikasi positif dan validasi perasaan anak.

Mendengarkan dengan bijak bukan hanya soal mendengarkan kata-kata, tetapi juga memahami emosi di baliknya. Carl Rogers, seorang psikolog humanis terkenal, mengatakan bahwa "mendengarkan aktif" adalah dasar dari hubungan yang sehat.

 Mendengarkan aktif melibatkan perhatian penuh terhadap pembicara, tidak hanya menanggapi dengan diam-diam, tetapi juga mengakui dan mengerti perasaan mereka. Dalam konteks parenting, ini berarti menyediakan ruang bagi anak untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dihakimi.

Tantangan terbesar dalam mendengarkan adalah menahan dorongan untuk segera memberi nasihat atau memecahkan masalah yang dihadapi anak. Filosof terkenal, Epictetus, mengingatkan kita bahwa, "Kita memiliki dua telinga dan satu mulut sehingga kita dapat mendengarkan dua kali lebih banyak daripada kita berbicara." 

Dalam Islam, sabar adalah kunci untuk berinteraksi dengan sesama, termasuk anak yang sedang beranjak dewasa. Sabar dalam konteks ini berarti menahan diri dari memberikan reaksi instan dan mencoba memahami perspektif anak sepenuhnya.

Teori psikologi perkembangan menjelaskan bahwa remaja dan dewasa muda sedang dalam fase mencari identitas dan kemandirian. Ini adalah periode kritis di mana mereka membutuhkan dukungan orang tua, bukan sebagai figur otoriter, tetapi sebagai pendengar dan mitra sejajar dalam perjalanan mereka menuju kedewasaan. 

Carl Jung pernah berkata, "Satu-satunya orang tua yang benar-benar dapat membantu anak muda adalah orang yang tetap memahami anak muda tersebut." Menjadi pendengar yang bijak memerlukan kemampuan untuk membedakan kapan harus berbicara dan kapan harus mendengarkan.

Gambar: DOk. Pribadi.
Gambar: DOk. Pribadi.

Dalam komunikasi interpersonal, seni mendengarkan dinilai sebagai salah satu keterampilan terpenting. Mendengarkan dengan empati memungkinkan kita untuk merasakan emosi orang lain, menanggapi secara tepat, dan memperkuat kedekatan emosional. Keterampilan komunikasi ini sangat bermanfaat ketika berhubungan dengan anak yang beranjak dewasa. 

Dhamal Ibrahim, dalam bukunya tentang teknik-teknik komunikasi efektif dalam Islam, menekankan bahwa kasih sayang dan perhatian dalam komunikasi membuka jalan bagi hubungan yang sehat.

Menjadi pendengar yang bijak mencakup sikap menghargai dan menghormati nilai dan pandangan anak. Dalam dunia yang serba cepat dengan distraksi digital yang melimpah, memberikan perhatian penuh kepada anak adalah cara menunjukkan komitmen dan kasih sayang kita. Marshall B. 

Rosenberg, pencetus komunikasi non-kekerasan, menekankan bahwa "empati adalah komunikasi kasih yang memberikan tempat untuk mendengarkan dengan hati." Sikap empati ini dapat menjadi jembatan antara orang tua dan anak, menjembatani kesenjangan generasi yang seringkali terjadi.

Dalam ajaran Islam, kita dianjurkan untuk selalu mendampingi anak dengan doa dan kasih sayang. Doa adalah bentuk komunikasi yang mendalam antara manusia dan Tuhan, dan dalam hubungan orang tua dan anak, doa menjadi cara untuk menguatkan ikatan batin. Doa juga mengajarkan kita tentang ketenangan dan penerimaan, yang merupakan bagian penting dari mendengarkan dengan bijak.

Namun, menjadi pendengar yang efektif tidak berarti mengabaikan prinsip atau nilai kita sebagai orang tua. Melainkan, ini tentang membuka dialog yang membangun, di mana kedua belah pihak merasa didengar dan dipahami. 

Brene Brown, ahli dalam riset tentang keberanian dan kesadaran penuh, mengatakan bahwa "vulnerabilitas adalah tempat lahirnya keberanian, hubungan, dan kreativitas." Ketika kita membiarkan diri kita rentan dan terbuka terhadap percakapan yang jujur dengan anak kita, kita menumbuhkan hubungan yang lebih kuat dan lebih berarti.

Gambar: Dok. Pribadi.
Gambar: Dok. Pribadi.

Banyak orang tua merasa kehilangan kendali ketika anak-anak mereka mulai mengambil keputusan sendiri. Ini adalah ujian kepercayaan yang signifikan, tetapi penting untuk diingat bahwa kepercayaan adalah landasan dari semua hubungan yang baik. Mengapa demikian? Karena dengan mempercayai anak, kita memotivasi mereka untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Albert Bandura, dengan teori pembelajaran sosialnya, mengingatkan kita bahwa "orang belajar satu sama lain, melalui observasi, imitasi, dan pemodelan."

Pentingnya mendengarkan yang bijak juga diamplifikasi dalam Al-Qur'an, yang menekankan pentingnya musyawarah dan konsultasi dalam membuat keputusan. Dalam Quran Surat Asy-Syuura ayat 38, disebutkan bahwa keputusan harus dibuat melalui musyawarah di antara orang-orang. Ini menunjukkan perlunya kolaborasi dan komunikasi efektif, terutama antara orang tua dan anak yang beranjak dewasa.

Terkadang, mendengarkan anak dapat membuka pintu bagi peningkatan hubungan yang belum pernah kita pikirkan. Saat anak merasa didengar, mereka lebih mungkin untuk terbuka dan membagikan pikiran serta perasaan mereka. 

Posisi ini memungkinkan orang tua untuk lebih mengenal anak mereka sebenarnya dan menjembatani kesenjangan apa pun. Psikolog keluarga, Virginia Satir, menyebutkan, "Tujuan dari mendengarkan bukan hanya untuk mendapatkan informasi, tetapi juga untuk memperkuat pemahaman dan hubungan."

Mengadopsi sikap mendengarkan yang bijak tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh latihan dan introspeksi yang berkelanjutan. Namun, upaya ini sepadan dengan hasil yang didapat, yaitu hubungan yang lebih harmonis dan mendalam dengan anak. Dengan memahami dan menerapkan prinsip-prinsip psikologi modern, ajaran Islam, dan ilmu komunikasi, orang tua dapat mengarahkan interaksi mereka menjadi lebih produktif dan bermakna.

Gambar: Dok. Pribadi.
Gambar: Dok. Pribadi.

Keberhasilan dalam mendengarkan bukan hanya diukur dari jumlah kata yang kita ketahui atau sampaikan, tetapi dari seberapa baik kita dapat memberikan perhatian dan memahami konteks emosional dari apa yang disampaikan anak. 

Hal ini akan terlihat dalam kualitas hubungan dan komunikasi yang terjalin sepanjang waktu. Bertrand Russell, seorang filsuf terkemuka, mencatat bahwa "seni komunikasi adalah bahasa dari kepemimpinan." Sebagai orang tua, kita memimpin dengan memberi contoh, dimulai dengan mendengarkan.

Banyak orang tua yang memanfaatkan momen-momen kecil sehari-hari sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan anak. Ini bisa dilakukan saat makan malam, berjalan-jalan sore, atau saat melakukan kegiatan bersama. 

Kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk mendengarkan cerita mereka tentang hari itu, memahami tantangan yang mereka hadapi, dan memberikan dukungan moral. Dalam Islam, setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan niat baik dan kasih sayang adalah bentuk ibadah, termasuk ketika kita mendengarkan anak.

Pada akhirnya, menjadi pendengar yang bijak ketika menghadapi anak yang beranjak dewasa adalah investasi dalam hubungan jangka panjang. Dengan memahami kebutuhan dan tekanan yang mereka alami, dan dengan bermodalkan pengetahuan tentang psikologi, komunikasi, dan ajaran agama, kita dapat membangun hubungan yang saling menguatkan dan mendalam. 

Keterampilan ini tidak hanya akan mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan hidup tetapi juga memastikan bahwa hubungan antara orang tua dan anak tetap dekat dan kuat.

Menumbuhkan hubungan yang sehat dengan anak bukanlah perjalanan yang mudah, tetapi dengan mendengarkan yang bijak, kita bisa mencapai kedamaian dan pemahaman yang lebih baik. 

Menghadapi perubahan zaman dan pengaruh luar, keterampilan mendengar kita akan membantu kita untuk tetap terhubung dan relevan dalam hidup anak-anak kita. Dengan menjadi pendengar yang bijak, kita ikut berkontribusi dalam menciptakan generasi yang lebih kuat dan lebih penuh kasih, yang siap untuk menghadapi dunia dengan rasa percaya diri dan iman yang teguh. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 Agustus 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun