Mohon tunggu...
Fanny Farhanto Purwacaraka C
Fanny Farhanto Purwacaraka C Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah - Universitas Negeri Malang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Tradisi Pengarakan Ogoh-ogoh terhadap Komodifikasi Pariwisata di Pulau Bali

17 Desember 2022   20:00 Diperbarui: 17 Desember 2022   20:01 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pulau Bali memiliki hampir seluruh potensi kepariwisataan terdapat disana, seperti potensi wisata yang berhubungan dengan keindahan alam dan budayanya,  kesenian tradisional serta tradisi sosial masyarakat yang seluruh aspek tersebut berhubungan erat dengan faktor berkembangnya Agama Hindu di Pulau Bali. Seluruh potensi tersebut kemudian dikemas menjadi sebuah daya tarik wisata sebagai destinasi pariwisata budaya.

Pariwisata budaya di Pulau Bali merupakan jenis kepariwisataan yang pada perkembangan serta pengembangannya menekankan penuh pada aspek kebudayaan di Pulau Bali. Kebudayaan yang ada di Bali dijiwai dengan perkembangan Agama Hindu menjadi bagian dari “Kebudayaan Nasional” yang memiliki potensi dasar dominan. Adanya hubungan timbal balik antara kebudayaan dan pariwisata membuat hubungan keduanya meningkat secara baik dan seimbang.

Pariwisata budaya bertujuan untuk memperkenalkan, melestarikan, mendayagunakan, dan meningkatkan kualitas dari daya tarik wisata tersebut. Tujuan ini dapat terwujud dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai norma agama serta kelestarian alam di Bali sesuai dengan wawasan lingkungan hidup dengan tujuan mencegah dan menghindarkan pengaruh-pengaruh negatif dengan adanya pariwisata.

Pengaruh pariwisata yang dikembangkan di Pulau Bali tentunya tidak terlepas dari munculan gejala-gejala komodifikasi dalam berbagai sektor didalamnya, salah satu yang termasuk di dalamnya adalah dalam hal berkesenian. Akibat pengaruh ekonomi yang berdasarkan tujuan untuk menciptakan keuntungan yang banyak mengakibatkan munculnya gejala “komodifikasi”.

Sejarah Awal Terciptanya Ogoh-Ogoh dan Makna dari Tradisi Ogoh-Ogoh 

Sejarah awal dari adanya Tradisi Ogoh-ogoh adalah kisaran pada tahun 80-an atau ada juga yang menyebut bermula pada tahun 70-an, Tradisi Ogoh-ogoh sendiri lebih tepatnya mulai dikenal pada tahun 1983 setelah Presiden Republik Indonesia ketika pada saat itu, yaitu Soeharto yang mengeluarkan Keputusan Presiden No. 3 Tahun 1983, yang memutuskan jika Hari Raya Nyepi menjadi hari libur Nasional sebagai hari raya keagamaan umat Hindu di seluruh Indonesia.

Dengan ini tentunya seluruh masyarakat menyambutnya dengan secara suka cita dan diwujudkan dengan dibuatnya Ogoh-ogoh di beberapa tempat terutama di Bali yang pada akhirnya terus berkembang pesat hingga sekarang ini. Ada beberapa pendapat juga tentang sejarah kemunculan dari ogoh-ogoh sendiri, ada pihak yang mengutarakan awal mula cikal bakal dari ogoh-ogoh adalah berawal dari “patung lelakut” yang berfungsi sebagai alat untuk mengusir burung dan hama-hama yang memakan hasil pertanian di area persawahan.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa awal mula dari ogoh-ogoh berawal dari “Tradisi Ngelawang” yang dilakukan umat Hindu di Bali, tradisi ini adalah tradisi untuk menolak bala atau mala petaka dengan ritualnya yaitu berkeliling desa atau banjar dengan membawa Barong Bangkung (Barong berbentuk babi). Terdapat kepercayaan jika Tradisi Ngelawang ini bertujuan untuk mengembalikan seluruh kedamaian dan ketenangan di muka bumi karena ketidakstabilan dunia karena bencana atau musibah.

Pengertian dari Ogoh-ogoh bermula dari kata ogah-ogah yang dalam Bahasa Bali memiliki arti yaitu sesuatu yang digoyang-goyangkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ogoh-ogoh berarti patung yang terbuat dari bahan kertas, bambu, dan lain sebagainya dengan berbentuk raksasa serta semacamnya yang kemudian diarak mengelilingi desa pada hari tertentu, lebih tepatnya pada malam sehari sebelum Hari Raya Nyepi (Malam Pengerupukan).

Makna dari Ogoh-ogoh sendiri adalah sebuah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menjadi simbol manifestasi dari kepribadian Sang Bhuta Kala. Di dalam ajaran Hindu Dharma, Sang Bhuta Kala merupakan representasi dari wujud kekuatan alam semesta (Bhu) dengan kekuatan waktu (Kala) yang tidak akan ada akhirnya. Dari bentuk perwujudan patung yang dimaksud tersebut, Sang Bhuta Kala menggambarkan sosok yang sangat besar dan sangat menakutkan, biasanya diwujudkan dalam bentuk Raksasa.

Selain berbentuk Raksasa, perwujudan ogoh-ogoh juga sering digambarkan sebagai wujud dari makhluk-makhluk yang hidup di Surga, Neraka, dan Mayapada (alam dunia) sesuai dengan makhluk-makkluk yang diyakini dan disucikan dalam Agama Hindu, wujud yang dibentuk seperti Gajah, Burung Garuda, Naga, Bidadari,  bahkan Dewa sekalipun. Tetapi dalam perkembangan Ogoh-ogoh ini juga terdapat wujud bentuk dari tokoh-tokoh dari kisah dalam kitab sastra agama Hindu seperti kisah Mahabarata dan Ramayana atau tokoh-tokoh lain yang ada pada serat-serat lontar di Bali.

Pengaruh Tradisi Pengarakan Ogoh-Ogoh Dalam Komodifikasi Wisata di Bali  

Dalam kaitkannya dengan perkembangan Ogoh-ogoh sekarang tentunya sudah mengalami komodifikasi dalam bentuk, fungsi, hingga makna didalamnya. Komodifikasi pada Ogoh-ogoh sendiri ditujukan untuk kebutuhan ekonomi serta memberikan kepuasan pada para wisatawan untuk sektor pariwisata sebagai bentuk produk wisata.

Salah satu efek komodifikasi Ogoh-ogoh terdapat pada bentuk Ogoh-ogoh, bentuk komodifikasi yang terjadi pada Ogoh-ogoh terlihat dengan banyak bentuk dari Ogoh-ogoh yang “kekinian” dengan mengambil tema-tema yang populer pada masa sekarang. Komodifikasi dari bentuk Ogoh-ogoh tidak hanya disebabkan karena perkembangan kreativitas dan teknologi, tetapi juga pengaruh dari permintaan pasar untuk masyarakat Bali sendiri atau juga untuk daya tarik wisatawan yang berkunjung.

Selain mengalami komodifikasi konsep dan bentuk, ogoh-ogoh juga mengalami komodifikasi dalam pemakaian bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan Ogoh-ogoh dengan tujuan agar bentuk dari ogoh-ogoh dapat bertahan lama. Sebelumnya ogoh-ogoh pada awal tahun 80-an terbuat dari bahan-bahan yang sangat sederhana, seperti bambu, kain, kertas semen atau jerami dengan konstruksi rancangan bentuknya juga sangat sederhana.

Kemudian pada perkembangan tahun 90-an ogoh-ogoh sudah mulai dilombakan sebagai rangkaian pada malam pengerupukan. Karena dilombakan dan semakin diminati oleh para wisatawan dan berkembang menjadi daya tarik wisata, maka ogoh-ogoh dibuat lebih tahan lama dan bahan-bahan dalam pembuatannya mulai mengalami kemajuan, seperti penggunaan sterofom untuk bagian-bagian ogoh-ogoh agar mudah dibentuk, bulu-bulu sebagai hiasan, fiber glass untuk melapisi ogoh-ogoh agar warnanya bertahan lama, kerangka besi untuk rancangan utama badan pada ogoh-ogoh, dan yang sekarang mulai berkembang adalah dengan adanya mesin otomatis untuk membuat ogoh-ogoh dapat bergerak.

Perkembangan ogoh-ogoh saat ini juga membuat perubahan terhadap fungsinya sebagai representasi Bhuta kala yang dibuat untuk menetralisir kekuatan-kekuatan negatif. Tetapi dengan perkembangannya saat ini, ogoh-ogoh berubah fungsi sebagai daya tarik bagi wisatawan.

Perubahan fungsi ogoh-ogoh saat ini yang telah berkembang dan berkomodifikasi sebagai daya tarik wisata diharapkan tidak merusak fungsi utamanya sebagai representasi Bhuta Kala. Hal ini dapat dimaklumi asalkan ogoh-ogoh yang dipajang di hotel-hotel tidak melalui upacara pasupati, seperti ogoh-ogoh yang diarak pada saat pengerupukan.

Ogoh-ogoh yang diarak pada saat malam pengerupukan dan telah menjalani upacara pasupati, dapat juga dipamerkan dan dipajang sebagai daya tarik wisata, tetapi sebelumnya harus dibersihkan terlebih dahulu dengan cara Kuku Rambutin, yaitu mengambil sedikit-sedikit bagian dari ogoh-ogoh.

Setelah itu, ogoh-ogoh dibakar dengan tujuan unsur dari Sang Bhuta Kala hilang, barulah ogoh-ogoh tersebut dapat dipajang dan dipamerkan sebagai produk tontonan wisata bagi wisatawan.

Perubahan fungsi dari ogoh-ogoh tentu saja membuat perubahan terhadap makna dari ogoh-ogoh itu sendiri. Sesuai dengan teori simulacra yang menjelaskan bahwa dalam perkembangannya, ogoh-ogoh yang dulu dibuat berbentuk Bhuta kala (raksasa) atau tokoh pewayangan saat ini telah disimulasi dan berubah.

Masyarakat mulai membuat simulakranya dengan memaknai ogoh-ogoh yang tidak bermakna Bhuta kala menjadi bermakna Bhuta kala. Berbagai bentuk ogoh-ogoh dibuat, contohnya: ada yang dibuat menyerupai orangorang terkenal, seperti para pemimpin dunia, artis atau tokoh agama bahkan penjahat atau teroris, ada pula yang berbau politik atau SARA dan juga pornografi.

Komodifikasi yang terjadi pada makna ogoh-ogoh inilah yang terlihat beberapa tahun terakhir sejak berkembangnya ogoh-ogoh menjadi daya tarik wisata. Selain dikarenakan oleh permintaan pasar, juga dipengaruhi oleh perkembangan jaman dan teknologi saat ini.

Ogoh-ogoh yang dulunya berbentuk Bhuta kala, sekarang mengalami perubahan makna. Ogoh-ogoh dengan bentuk selain Bhuta Kala dan pewayangan saat ini juga digunakan sebagai promosi bagi artis atau tokoh terkenal. Hal ini membuktikan bahwa saat ini ogoh-ogoh tidak hanya bermakna sebagai representasi Bhuta Kala, tetapihberubahhmenjadi ajang untuk promosi bagi para artis atau tokoh terkenal, padahal makna dari ogoh-ogoh adalah sebagai representasi Bhuta Kala (unsur negatif).

Hal inilah menjadi bukti bahwa ogoh-ogoh telah mengalami komodifikasi makna. Perkembangan ogoh-ogoh ini telah menjadi bukti dari adanya perkembangan teknologi dan informasi (media massa, internet, dan lain sebagainya), kebutuhan ekonomi dan permintaaan pasar, baik masyarakat Bali sendiri ataupun para wisatawan. Hal tersebutlah yang membuat tradisi ogoh-ogoh pada akhirnyahtidakflepasydarikdampak komodifikasi, baik perubahan dalam bentuk, fungsi, dan maknanya. Ogoh-ogoh sebagai kreativitas seni pemuda Bali telah dikomodifikasi menjadi produk wisata untuk menarik wisatawan agar datang ke Bali.

Dampak terhadap meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan adanya pawai ogoh-ogoh juga memberikan dampak terhadap meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bali. Adanya pawai ogoh-ogoh sangat diterima oleh para wisatawan baik mancanegara ataupun domestik yang menyaksikannya. Hal ini dilihat dari persepsi mereka yang menyatakan bahwa pawai ogoh-ogoh sangat berpotensi sebagai daya tarik wisata dan menarik minat para wisatawan untuk datang ke Bali.

Banyak wisatawan domestik yang datang ke Bali khusus untuk melihat dan menikmati pawai ogoh-ogoh. Pawai ogoh-ogoh adalah salah satu seni dan tradisi budaya Bali yang dapat dijadikan sebagai komoditi pariwisata. Selain itu, pawai ogohogoh adalah atraksi yang tidak ada duanya dan sangat berpotensi untuk meningkatkan pariwisata Bali khususnya dalam meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan baik dari luar atau dalam negeri.

Karena Ogoh-ogoh tidak hanya dapat dilihat pada saat malam pengerupukan saja, tetapi akhir-akhir ini pawai ogoh-ogoh juga dipakai dan menjadi atraksi dalam kegiatan-kegiatan komersial seperti acara festival, promosi pariwisata, dan kegiatan pembukaan dalam events olahraga internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun