"Hai, agak merapat dikit ya, dan yang belakang berdiri. Yang di depan jongkok ya, adik yang paling ujung, yang nggak pakai sepatu, kurang ketengah ya. Siap hitungan satu, dua, tiga, klik klik."
Belum sampai klik ke-2, terdengar suara keras dari arah depan SD Inpres Sagare dimana saya mengumpulkan anak-anak untuk ambil momen foto-foto sebelum masuk kelas pagi.
"Hai jangan diteruskan ambil foto anak didik kami tanpa izin!" Bentak laki-laki separuh baya menghentikan momen foto foto kami.
Perlahan bapak itu mendekat dengan sikap memandang tajam kepadaku.
"Kau dari mana dan untuk apa foto! Sudah banyak yang ke sini foto-foto lalu tidak jelas untuk apa! Tetap saja kondisinya kayak begini!"
Sembari menundukkan badan dan merasa bersalah, saya menjulurkan tangan serta mengucap maaf.
"Maaf, saya Purnomo!"
Disambutnya ucapan saya, "Saya Titus, Kepala Sekolah disini!"
Langsung saya pegang erat tangannya dan saya lanjutkan dengan penjelasan tentang saya dari mana dan tujuan apa. Selama kurang lebih 5 menit saya keluarkan kalimat-kalimat permohonan maaf.
Rupanya semilir angin segar dari Sungai Sagare meredam cukup amarahnya. Pada akhirnya saya diizinkan dan bahkan didampingi untuk melihat-lihat aktivitas belajar di SD Inpres tersebut.
Saya dan Pak Titus memasuki ruang kelas 1. Letaknya di paling ujung bangunan gedung SD Inpres Sagare.
"Ini ruang saya sekat tengahnya biar cukup untuk 2 kelas, Pak Pur!" Suara Pak Titus membuyarkan lamunanku.
Kelas 1 ini ada 94 siswa, sedangkan kondisi kelasnya hanya memuat 60 siswa dan siswi. Guru-guru kami jumlahnya 6 orang, baru 4 yang statusnya pegawai negeri. Lainnya masih honorer.
Kami di sini, Pak Titus bercerita, berjuang untuk bagaimana bisa membuat anak didik bisa membaca menulis dan tidak tertinggal pendidikannya. Siswa kami ada yang harus dayung dan naik getek! Kami sadar fasilitas kami minim dan jauh dari idealnya dunia pendidikan di tempat lain di negeri ini.
Jumlah seluruh siswa siswi SD Inpres Sagare, lanjut Pak Titus, yaitu: Kelas  6 ada 39, kelas 5 ada 20; Kelas 4 ada 34; Kelas 3 ada 53 ; Kelas 2 ada 67 dan Kelas 1 ada 94. Dengan jumlah itu, saya butuh waktu ekstra. Untuk meyakinkan bahwa kalian mampu menjadi bagian dari mengisi kegiatan Bangsa ini.
Semangat tetap membaja dalam belajar. Begitulah kesan saya atas SD Inpres ini. Walaupun kekurangan sarana pendidikan, semangat tetap tinggi. Harus belajar dan belajar, kata Pak Titus menyimpulkan. Kadang ia harus menggalang dana secara swadaya untuk menambah bangunan sekolah agar siswa-siswi nyaman dalam belajar.
Kami pun berbincang kesana kemari. Pembicaraan terus mengalir dan saling mengisi. Kami pun sama-sama setuju bahwa pendidikan itu begitu penting bagi anak bangsa sebagai generasi penerus.
"Pak Titus, bolanya di mana, kami mau main bola!" Tiba-tiba sekelompok anak mendatangi kami dan menyela pembicaraan kami.
"Coba ambil di tempat bola!" Sahut Pak Titus.
"Tak ada Pak!" bantah anak-anak.
"Sebentar ya Pak Pur, saya mau cari bola dulu," kata Pak Titus sambil beranjak.
Tak lama kemudian, Pak Titus sudah membawa bola sepaket dan memberikannya kepada anak-anak.
"Kebetulan guru olahraga hari ini tidak masuk sehingga harus kita yang tangani," ungkap Pak Titus sambil menarik kursi di hadapan saya. Kami pun melanjutkan perbincangan.
Ya meraka adalah anak anak yang hebat dan rajin. Selalu bersemangat dalam bermain olahraga.
Hiduplah anak-anak Asmat, anak-anak Indonesia!
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H