"Ini ruang saya sekat tengahnya biar cukup untuk 2 kelas, Pak Pur!" Suara Pak Titus membuyarkan lamunanku.
Kelas 1 ini ada 94 siswa, sedangkan kondisi kelasnya hanya memuat 60 siswa dan siswi. Guru-guru kami jumlahnya 6 orang, baru 4 yang statusnya pegawai negeri. Lainnya masih honorer.
Kami di sini, Pak Titus bercerita, berjuang untuk bagaimana bisa membuat anak didik bisa membaca menulis dan tidak tertinggal pendidikannya. Siswa kami ada yang harus dayung dan naik getek! Kami sadar fasilitas kami minim dan jauh dari idealnya dunia pendidikan di tempat lain di negeri ini.
Jumlah seluruh siswa siswi SD Inpres Sagare, lanjut Pak Titus, yaitu: Kelas  6 ada 39, kelas 5 ada 20; Kelas 4 ada 34; Kelas 3 ada 53 ; Kelas 2 ada 67 dan Kelas 1 ada 94. Dengan jumlah itu, saya butuh waktu ekstra. Untuk meyakinkan bahwa kalian mampu menjadi bagian dari mengisi kegiatan Bangsa ini.
Semangat tetap membaja dalam belajar. Begitulah kesan saya atas SD Inpres ini. Walaupun kekurangan sarana pendidikan, semangat tetap tinggi. Harus belajar dan belajar, kata Pak Titus menyimpulkan. Kadang ia harus menggalang dana secara swadaya untuk menambah bangunan sekolah agar siswa-siswi nyaman dalam belajar.
Kami pun berbincang kesana kemari. Pembicaraan terus mengalir dan saling mengisi. Kami pun sama-sama setuju bahwa pendidikan itu begitu penting bagi anak bangsa sebagai generasi penerus.
"Pak Titus, bolanya di mana, kami mau main bola!" Tiba-tiba sekelompok anak mendatangi kami dan menyela pembicaraan kami.
"Coba ambil di tempat bola!" Sahut Pak Titus.
"Tak ada Pak!" bantah anak-anak.
"Sebentar ya Pak Pur, saya mau cari bola dulu," kata Pak Titus sambil beranjak.