Tepat pada 08.46 WIT, bersandarlah 3 kapal kami di Dermaga Sungai Fayit. Hampir 3 jam perjalanan. Tepatnya 2 jam 46 menit.
Anak kecil dan beberapa orang dewasa melihat kami datang. Mereka berdiri di tepi sungai. Kaki mereka telanjang sambil menginjak papan kayu dermaga sungai Distrik Fayit. Seolah mereka ingin mengatakan selamat datang di rumah kami, Distrik Fayit.
Satu per satu kami keluar dari kapal dengan uluran tangan warga. Kami terkesan dengan suasana ini. Mungkin agar kami tidak jatuh. Kami pun saling melempar senyum.
Oh, inilah Indonesia di Asmat!
Kami pun mulai bergerak ke lokasi untuk melakukan pendataan. Masing-masing membawa peralatan dan agenda yang sudah disepakati.
Memasuki Distrik Fayit, kondisinya tidak jauh beda dengan Distrik Agats. Terutama karena sebagian besar lahan di Kabupaten Asmat berupa rawa dengan pasang surut yang tinggi. Ditambah lagi, daerah-daerah di kawasan ini juga memiliki curah hujan sangat tinggi. Sungai-sungai yang ada menjadi sumber air baku penduduk.
Ketahuilah, hampir semua jalan di Distrik Fayit menggunakan jalan papan kayu.
Seperti juga saya, kalau Anda baru saja menginjakkan di lokasi jalan papan ini, berhati-hatilah agar tidak terpeleset. Kalau terpeleset, artinya rawan terperosok.
"Om! Hati-hati ya!" nasihat salah satu warga saat jalan berpapasan.
Di sela-sela jalan kayu dan di bawahnya, saya lihat banyak sampah berserakan. Sampah-sampah itu kadang datang dari atas, atau juga saat air pasang yang membawa tumpukan sampah dari daratan saat air surut.
Artinya kalau cara membuang sampang tidak tepat, dipastikan genangan sampah saat air surut makin menumpuk.
Kami pun tiba di Puskesmas Fayit. Kondisi Puskesmas di sini masih "apa adanya". Ada ruang UGD, Puslin, juga ada dokter yang berjaga.
"Mama, anaknya sakit apa?" Sapaku mencoba akrab.
"Demam, Om. Sudah semalam."
"Oh ... sabar ya mama, semoga anaknya cepat sembuh," sahutku.
Langkah kaki terus menelusuri jalanan papan kayu di Distrik Fayit.
"Hai pagi, adik-adik?" sapaku dengan senyum.
Serentak mereka menjawab, "Pagi!
"Sudah pulang sekolah?" tanyaku.
"Minggu, Om, di sini libur. Apa di daerah Om Minggu tidak libur?" sergah salah seorang dari mereka.
"Oh iya hehe, sama di daerah Om juga libur, kita 'kan sama satu tanah air Indonesia. Ayo tos dulu!"
Saya tos tangan ke anak-anak itu, tanpa ragu dia juga menyambutnya.
"Adik, namamu siapa?" tanyaku.
"Okta Om!" jawab salah seorang dengan keras.
"Kelas berapa?" tanyaku lagi.
"Kelas 3 SD," jawabnya.
Saya sudah mulai akrab dengan mereka. Bahkan mereka mau dan semangat saat saya ajak untuk menemani keliling kampung.
Saya pun berjalan memisahkan diri dari rombongan tim. Saya dan anak-anak pun memulai menelusuri areal kampung Distrik Fayit.
Saat berjalan melewati tumpukan sampah, saya pun bertanya: "Hai Okta, Gabriel, Stefanus, itu apa?"
Saya pun menerangkan. Itu namanya sampah. Kalau kita membuang sembarangan nanti bisa kotor dan timbul penyakit. Mereka hanya mengangguk-angguk saja. Saya jelaskan kalau sampah dibuang di sembarang tempat, bisa kena kaki lalu infeksi, bisa jadi sarang lalat dan penyakit
"Terus bisa apa lagi?" tanyaku
"Banjir, Om!" teriak Okta, dia sedari tadi rupanya paling berani berbicara.
Kami pun duduk melingkar, di bawah sebuah tempat teduh dari terik panasnya matahari Fayit.
Kami terus bercanda dan bercakap-cakap apa saja. Kalau saya ingin ambil gambar, mereka selalu malu-malu kucing.
Tapi kalau diajak berfoto bersama (wefie), anak-anak riang itu langsung saling berebut mendekat dalam lingkaran. Mereka ingin tahu dan bisa masuk layar kamera.
Anda tahu apa ini artinya. Mereka ingin bersama-sama dengan Indonesia, bersama dengan kita. Mereka tak mau hanya dijadikan obyek saja!
Saya tidak ingin berlebih-lebihan dalam melukiskan mereka. Mereka adalah anak anak pemberani yang cerdas dan hebat. Berkali-kali saya menangkap ekspresi alami mereka, ekspresi yang tidak dibuat-buat.
Inilah kisah tentang Okta:
"Pagi Saya mandi di Sungai lalu ke sekolah. Habis mandi kadang makan pagi, tapi sering tidak. Tergantung mama sudah masak apa belum. Kalau ke sekolah pakai seragam, kecuali hari Sabtu. Kami diantar ke sekolah. Biasanya kami tidak pakai sepatu."Â
"Habis sekolah saya makan dan membantu mama ke kebun dengan naik perahu kecil. Di kebun kami juga bermain. Hingga sore kami pulang bersama-sama."
"Malam hari kami bermain sebentar, lalu tidur dan pagi kami terbangun untuk sekolah. Tapi kalau saya bangun kesiangan, saya tidak sekolah."
Tiba-tiba Thomas berteriak, "Hai kau, jangan buang bungkus coklat sembarangan!"
Okta pun menyahut, "Lalu dibuang kemana?"
Saya pun baru sadar bahwa memang belum tersedia tempat sampah di sana.
Sebelum mengakhiri senda gurau, saya iseng menyuruh mereka mengucapkan sila-sila Pancasila.
"Siapa yang hapal Pancasila?" tanyaku.
"Saya bisa!" teriak Okta.
Suaranya cukup keras, sampai ada penduduk yang menoleh pada kerumunan kami. Suaranya keras sekeras semangat juang mereka sebagai anak Indonesia!
Pancasila! Dan kami anak Asmat siap menjadi pemimpin Indonesia!
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H