Mohon tunggu...
PURNOMO
PURNOMO Mohon Tunggu... Ilmuwan - Alumni Pascasarjana Universitas Brawijaya

Alumni Pascasarjana Universitas Brawijaya dan sekarang bekerja sebagai Konsultan Individual, Tim Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Strategis Kementerian PUPR dalam Membantu Kejadian Luar Biasa (KLB) Kabupatan Asmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Jam Menantang Maut dari Agats ke Fayit (Bagian ke-1)

4 Maret 2018   11:03 Diperbarui: 4 Maret 2018   11:16 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul 06.00 WIT, 3 kapal speed boat dengan kekuatan masing-masing 75pk membawa saya dan 15 orang lainnya melaju meninggalkan Dermaga Sungai Agats, Kabupaten Asmat. Kami bergerak menuju ke 3 Distrik: Fayit, Kasuari, Atsy.

Kami berencana melakukan pendataan tentang layanan sarana infrastruktur permukiman, air bersih, persampahan, MCK, jembatan, jalan kampung, dan penampungan air tadah hujan. Tiga distrik yang kami kunjungi dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Pemerintah Kabupaten Asmat.

Sengaja kami menjangkau distrik yang paling jauh dengan melalui pinggiran lautan Arafura. Saat keluar dari Dermaga Sungai Agats, speed boat kami masih berjalan landau. Ombak ringan Sungai Agast membuat kami ber 6 masih menikmati perjalanan dan bisa bercerita kesana kemari.

Di sela-sela senda gurau, kadang-kadang kami pun mengg0da sang motoris (driver) untuk membalap kapal kawan kami lainnya. "Ayo kejar, Bang!"

Sang motoris mengatakan bahwa sebetulnya kapal speed boat kami ini kelebihan kapasitas. Seharusnya diisi maksimal 4 orang, tapi justru diisi 6 orang. Kami pun menyanggah, "Kalau tak lebih, bukan Indonesia."

Setengah jam pun berlalu dalam ombak ringan. Berikutnya guncangan ombak perlahan mulai semakin kuat menerpa kami. Tandanya sudah hampir sampai muara pertemuan Sungai Agats dengan Laut Arafura.

doc pribadi
doc pribadi

Suasana ceria pun mulai berubah mencekam.

Saya melirik di antara kami, ada yang diam menunduk dan sesekali terlihat seperti komat-kamit berdoa.

Saya merasakan speed boat ini seperti terbang dan terus mengguncang. Suara benturan ombaknya cukup keras. Saya sendiri merasakan perut yang seperti dikocok, bahkan seperti ingin buang air besar.

Mata saya tetap tertuju ke sang motoris yang tetap cekatan dan tenang. Ia memperlihatkan kepiawaiannya saat memilih panjang pendek gelombang ombak dan berusaha mengurangi agar guncangan tidak terjadi.

Seringkali ia berhasil mengatasi ombak, namun juga kadang tidak berhasil. Dengan terpaksa ia harus menabrak tingginya ombak dan menurunkan tekanan gas speed boat.

Kondisi gelombang laut seperti ini saya rasakan semakin tinggi lebih dari setengah jam.

Lebih mencekam lagi saat tiba tiba sang motoris menetralkan gigi speed boat usai menabrak ombak besar.

dok.pri
dok.pri
Saya dan tim pun membisu dan hanya bisa saling berpandangan. Diam tanpa suara. Hanya gemuruh ombak saja yang terdengar. Perut yang terasa mulas pun menghilang seketika, berganti dengan degupan jantung yang kian kencang.

Sang motoris tiba-tiba berlari menuju belakang speed boat utk memeriksa mesin. Entah apa yang dia otak-atik. Yang jelas kami sudah tak berani lagi berkata-kata. Apalagi bersenda-gurau. Rasanya seperti di ujung tanduk.

Alhamdulillah, 10 menit kemudian motoris berhasil menyalakan mesin. Sayangnya seperti belum ada tenaga.

Ia berteriak, "Pak, yang di depan tolong berdiri ya, agar beban tak terlalu berat di belakang!" Saya pun berdiri. Alhamdulillah, berhasil! Kapal pun melaju kembali.

dok.pri
dok.pri
Alhamdulillah, alhamdulillah,dan alhamdulillahlagi. Perlahan-lahan ombak pun semakin jarang, kecil dan cahaya laut pun semakin teduh. Pertanda bahwa speed boatkami sudah meninggalkan medan ombak ganas.

Samar-samar kami lihat bentangan pohon-pohon mangrove yang indah, berderet seakan menawarkan tempat berteduh dan beristirahat sejenak dari terik panas matahari di atas kepala.

Lima belas menit kemudian, kami sudah masuk ke muara Sungai Fayit. Kami pun mulai berpapasan kapal-kapal kecil (baca: ketinting) yang ditumpangi seorang ibu dengan dua anak kecilnya.

Kami pun saling melambaikan tangan mengisyaratkan Welcome Distrik Fayit.

Ini adalah perjalanan pertama kami menuju Fayit. Saya, sebagai penumpang, menilai perjalanan berat ini sebagai perjuangan. Perjuangan sekali dalam hidup saya. Dan saya pun tidak bisa membayangkan, mereka berjuang berkali-kali menantang maut dalam hidup mereka.

dok.pri
dok.pri
(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun