Mohon tunggu...
PURNOMO
PURNOMO Mohon Tunggu... Ilmuwan - Alumni Pascasarjana Universitas Brawijaya

Alumni Pascasarjana Universitas Brawijaya dan sekarang bekerja sebagai Konsultan Individual, Tim Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Strategis Kementerian PUPR dalam Membantu Kejadian Luar Biasa (KLB) Kabupatan Asmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tiga Jam Menantang Maut dari Agats ke Fayit (Bagian ke-1)

4 Maret 2018   11:03 Diperbarui: 4 Maret 2018   11:16 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi gelombang laut seperti ini saya rasakan semakin tinggi lebih dari setengah jam.

Lebih mencekam lagi saat tiba tiba sang motoris menetralkan gigi speed boat usai menabrak ombak besar.

dok.pri
dok.pri
Saya dan tim pun membisu dan hanya bisa saling berpandangan. Diam tanpa suara. Hanya gemuruh ombak saja yang terdengar. Perut yang terasa mulas pun menghilang seketika, berganti dengan degupan jantung yang kian kencang.

Sang motoris tiba-tiba berlari menuju belakang speed boat utk memeriksa mesin. Entah apa yang dia otak-atik. Yang jelas kami sudah tak berani lagi berkata-kata. Apalagi bersenda-gurau. Rasanya seperti di ujung tanduk.

Alhamdulillah, 10 menit kemudian motoris berhasil menyalakan mesin. Sayangnya seperti belum ada tenaga.

Ia berteriak, "Pak, yang di depan tolong berdiri ya, agar beban tak terlalu berat di belakang!" Saya pun berdiri. Alhamdulillah, berhasil! Kapal pun melaju kembali.

dok.pri
dok.pri
Alhamdulillah, alhamdulillah,dan alhamdulillahlagi. Perlahan-lahan ombak pun semakin jarang, kecil dan cahaya laut pun semakin teduh. Pertanda bahwa speed boatkami sudah meninggalkan medan ombak ganas.

Samar-samar kami lihat bentangan pohon-pohon mangrove yang indah, berderet seakan menawarkan tempat berteduh dan beristirahat sejenak dari terik panas matahari di atas kepala.

Lima belas menit kemudian, kami sudah masuk ke muara Sungai Fayit. Kami pun mulai berpapasan kapal-kapal kecil (baca: ketinting) yang ditumpangi seorang ibu dengan dua anak kecilnya.

Kami pun saling melambaikan tangan mengisyaratkan Welcome Distrik Fayit.

Ini adalah perjalanan pertama kami menuju Fayit. Saya, sebagai penumpang, menilai perjalanan berat ini sebagai perjuangan. Perjuangan sekali dalam hidup saya. Dan saya pun tidak bisa membayangkan, mereka berjuang berkali-kali menantang maut dalam hidup mereka.

dok.pri
dok.pri
(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun