Kondisi gelombang laut seperti ini saya rasakan semakin tinggi lebih dari setengah jam.
Lebih mencekam lagi saat tiba tiba sang motoris menetralkan gigi speed boat usai menabrak ombak besar.
Sang motoris tiba-tiba berlari menuju belakang speed boat utk memeriksa mesin. Entah apa yang dia otak-atik. Yang jelas kami sudah tak berani lagi berkata-kata. Apalagi bersenda-gurau. Rasanya seperti di ujung tanduk.
Alhamdulillah, 10 menit kemudian motoris berhasil menyalakan mesin. Sayangnya seperti belum ada tenaga.
Ia berteriak, "Pak, yang di depan tolong berdiri ya, agar beban tak terlalu berat di belakang!" Saya pun berdiri. Alhamdulillah, berhasil! Kapal pun melaju kembali.
Samar-samar kami lihat bentangan pohon-pohon mangrove yang indah, berderet seakan menawarkan tempat berteduh dan beristirahat sejenak dari terik panas matahari di atas kepala.
Lima belas menit kemudian, kami sudah masuk ke muara Sungai Fayit. Kami pun mulai berpapasan kapal-kapal kecil (baca: ketinting) yang ditumpangi seorang ibu dengan dua anak kecilnya.
Kami pun saling melambaikan tangan mengisyaratkan Welcome Distrik Fayit.
Ini adalah perjalanan pertama kami menuju Fayit. Saya, sebagai penumpang, menilai perjalanan berat ini sebagai perjuangan. Perjuangan sekali dalam hidup saya. Dan saya pun tidak bisa membayangkan, mereka berjuang berkali-kali menantang maut dalam hidup mereka.